kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP


Kamis, 10 Juni 2021 / 10:54 WIB
Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP
ILUSTRASI. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan presiden karena Indonesia tidak mau jadi negara liberal. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.


Reporter: Siti Masitoh, Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

Andi Hamzah menyatakan menyatakan, "Tidak apa-apa kalau Pasal 134 KUHPidana dihapuskan, yang berarti masih bisa dihukum karena ada Pasal 310 KUHPidana tetapi harus diingat bahwa dalam Pasal 310 KUHPidana itu hukumannya lebih ringan dan merupakan delik aduan”.

Berdasarkan itulah, Maret 2015 pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerbitkan naskah akademik mengenai Rancangan Undang -Undang Tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ada enam alasan mengapa pemerintah perlu mempertahankannya ketentuan mengenai pasal Penghinaan Presiden.  (Hal 126-129)

Pertama, kepentingan/benda hukum (rechtsbelangan/rechtsgood) atau nilai dasar (“basic values”) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah “martabat/derajat kemanusiaan” (human dignity) yang merupakan salah satu nilai-universal yang dijunjung tinggi;

Kedua, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai-universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai “rechtsdelict”, “intrinsically wrong”, “mala per se” dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara;

Ketiga, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara; hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;

Keempat, ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk; simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; Presiden/Wakil Presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan (Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati.

Kelima, dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak; terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan.

Keenam, karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality beforethe law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenisjenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dsb.) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.

SELANJUTNYA>>>




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×