Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan periode 2013 hingga 2014 Chatib Basri mengatakan, salah satu isu yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 adalah berkurangnya daya beli masyarakat.
Sejauh ini, ia mengapresiasi upaya pemerintah yang sudah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin untuk mengungkit daya beli. Namun, ia menganggap ada hal ideal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar bantuan tersebut lebih terasa manfaatnya.
Pertama, pemerintah perlu memperhatikan, siapa yang harus mendapat BLT?
Baca Juga: Sri Mulyani minta restu DPR terapkan cukai minuman berpemanis
Chatib bilang, selama ini definisi orang yang menerima BLT adalah orang miskin dengan rumah berlantai tanah, makan sehari hanya bisa dua hari, dan tinggal di rumah berdinding bambu.
Namun, kadang masyarakat dengan kelompok hampir miskin maupun dari kelas menengah yang jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan, meski rumahnya bagus, sering tidak tersentuh BLT.
“Maka dari itu, BLT harus diperluas bukan hanya kepada masyarakat miskin saja, tetapi juga mereka yang aspiring middle class atau mereka yang mau jadi kelas menengah tetapi belum bisa,” tambah Chatib.
Baca Juga: Berharap produksi rokok turun 3,2%, cukai hasil tembakau mulai berlaku pekan depan
Kedua, terkait besaran BLT. Menurutnya, besaran BLT yang perlu ditambah dari Rp 600 ribu menjadi kisaran Rp 1 juta per rumah tangga.
Ia pun menghitung. Bila merujuk ke definisi aspiring middle class versi Bank Dunia, tercatat sekitar 120 juta hingga 140 juta orang ada dalam kelompok ini. Anggap saja satu keluarga berisi 3 sampai 4 orang, maka akan ada sekitar 30 juta hingga 40 juta keluarga.
“Kalau misal Rp 1 juta tadi dikali 30 juta keluarga, maka kita butuh Rp 30 triliun sebulan. Nah, berapa lama? Katakanlah setahun, maka kita butuh Rp 360 triliun. Kan tadi total perlindungan sosial juga sekitar Rp 500 triliun. Itu idealnya,” tambahnya.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut APBN 2020 mampu jaga kontraksi perekonomian RI akibat Covid-19
Namun, Chatib sadar kalau pemerintah ini tidak bisa seenaknya dalam mengubah peraturan dan mengambil langkah karena terikat dengan birokrasi dan Undang-Undang. Belum lagi, ada masalah terkait data masyarakat yang belum tentu lengkap.
“Jadi memang kita harus realistis. Namun, tetap yang penting pemerintah juga harus memperhatikan aspek kesehatan karena kunci utama dalam pemulihan ekonomi kita adalah kesehatan,” tandasnya.
Selanjutnya: Jokowi yakin dewan pengawas INA bisa gaet investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News