Reporter: Abdul Basith, Bidara Pink, Grace Olivia, Noverius Laoli, Yusuf Imam Santoso | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2020 tinggal menghitung hari. Tentunya, di sepanjang 2019, ada banyak permasalahan yang ditemui dalam perekonomian Indonesia. Masalah-masalah ini yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mencapai target pemerintah dalam APBN yang sebesar 5,3%.
Kementerian Keuangan meramal, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5,05%. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, proyeksi tersebut sejalan dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global yang kian menurun. Ekonomi dunia tahun ini diramal hanya akan tumbuh 3%, level terendah sejak krisis finansial global pada 2008 silam dan jauh di bawah proyeksi awalnya yang sebesar 3,7%.
Apa saja masalah yang dihadapi Indonesia? Berikut hasil rangkuman Kontan.co.id:
1. Tren konsumsi rumah tangga menurun
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2019 ini tercatat sebesar 5,01% (yoy). Padahal pada kuartal sebelumnya, pertumbuhan konsumsi mencapai 5,17% (yoy).
Baca Juga: BI: Kewajiban neto posisi investasi Indonesia menurun di kuartal III 2019
Padahal, konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu sebesar 56,5%.
Beberapa komponen dalam konsumsi rumah tangga yang mengalami penurunan dari kuartal sebelumnya adalah komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga sebesar 1,07% dari kuartal sebelumnya menjadi 4,55%.
Selain itu ada juga pencatatan penurunan lain untuk komponen transportasi dan komunikasi sebesar 0,34% dari kuartal sebelumnya sehingga menjadi 4,35%.
2. Andil ekspor bersih terhadap pertumbuhan menurun
Founder lembaga riset dan kebijakan ekonomi Sigma Phi Indonesia, Arif Budimanta menilai, meskipun ekonomi masih tumbuh positif, tetapi realisasi data pertumbuhan terbaru ini menjadi peringatan bahwa perekonomian nasional tengah menghadapi problem struktural sehingga belum mampu tumbuh cepat seperti yang diinginkan Presiden Jokowi yakni di atas 7%.
"Selain itu, ekonomi nasional diperburuk dengan kondisi ekonomi global yang melambat dan risiko ketidakpastian yang meningkat," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kontan.co.id, Selasa (5/11).
Arif mengatakan, komponen ekspor bersih maupun investasi yang diharapkan tumbuh tinggi dan mengubah struktur PDB justru mengalami perlambatan yang cukup signifikan sehingga belum berhasil mentransformasi struktur PDB Indonesia yang hingga saat ini masih sangat didominasi oleh sektor konsumsi.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 lalu, andil investasi dan ekspor bersih terhadap pertumbuhan telah menurun. Pada tahun lalu pembentukan modal tetap bruto (PMTB) memiliki andil 2,24% terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tahun ini hanya sebesar 1,38%.
Baca Juga: Pemerintah tak gunakan SAL untuk tambahan pembiayaan defisit APBN 2019
Meskipun andil ekspor bersih membaik yakni dari -1,1% pada triwulan III 2018 menjadi positif 1,81% pada triwulan III 2019, tetapi lebih disebabkan karena impor yang terkontraksi 8,61% (yoy) sedangkan ekspor hanya tumbuh 0,02%.
3. Daya saing Indonesia menurun
Peringkat daya saing Indonesia secara global mengalami kemunduran pada tahun ini.
World Economic Forum (WEF) dalam laporan tahunan terbarunya Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI) Report 2019 menurunkan posisi Indonesia sebanyak lima peringkat dari posisi ke-45 menjadi ke-50.
Terdapat 12 indikator atau pilar yang menjadi penilaian WEF. Masing-masing diberi skor dalam skala 0-100, semakin besar skornya maka semakin ideal pula daya saing pada indikator tersebut.
Baca Juga: Duh, di Masa Pemerintahan Jokowi Asumsi APBN Sering Meleset
Dari 12 pilar, Indonesia mengalami penurunan skor pada lima pilar. Pertama, pilar aposi TIK (ICT Adoption) yang hanya mendapat skor 55,4.
Kedua, pilar kesehatan (health) juga mengalami penurunan dengan skor 70,8. Ekspektasi hidup sehat pada manusia di Indonesia terhitung hanya 62,7 tahun.
Ketiga, pilar kemampuan SDM (skills) juga menurun dengan skor 64. Penurunan terlihat pada indikator kemampuan (skillset) para lulusan, kemampuan digital pada populasi produktif, dan kemudahan mendapatkan tenaga kerja terampil.
Keempat, penurunan juga terjadi pada pilar pasar tenaga kerja dengan skor 57,7. Indikator perbandingan bayaran dan produktivitas, tarif pajak tenaga kerja, fleksibilitas penentuan upah, dan kebijakan pasar tenaga kerja yang berlaku saat ini menjadi beberapa penyebabnya.
Baca Juga: Proyeksi analis terhadap pergerakan IHSG pada akhir 2019
Kelima, daya saing Indonesia juga menurun pada pilar produk di pasar (Product Market). Indikator yang menyebabkan penurunan adalah efek distorsi kebijakan pajak dan subsidi pada saing, dominasi pasar, dan non-tariff barriers, serta kompleksitas tarif pada produk-produk Indonesia.
Indonesia meraih skor cukup tinggi pada pilar stabilitas makroekonomi (macroeconomic stability) dengan nilai 90 dan ukuran pangsa pasar (market size) dengan nilai 82,4.
4. Dana desa bermasalah
Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan menghentikan sementara penyaluran dana desa tahap ketiga.
Pembekuan ini dilakukan sembari menunggu proses verifikasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) terkait desa yang bermasalah, termasuk dugaan adanya desa fiktif.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan, Kemkeu masih menunggu hasil pemeriksaan Kemdagri terkait jumlah desa fiktif yang menerima kucuran dana desa dari pemerintah pusat.
Baca Juga: Ini Strategi Pemerintah Mendorong Laju Ekonomi Tahun Depan
"Pembekuan akan dilakukan pada penyaluran dana desa tahap ketiga kepada desa-desa sesuai hasil identifikasi dari Kemdagri," kata Astera, Selasa (19/11).
Direktur Fasilitas Keuangan dan Aset Pemerintah Desa Kemdagri Benny Irawan mengatakan, pihaknya masih fokus melakukan validasi desa fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Sejauh ini, Kemdagri menemukan empat desa yang terbukti melakukan kesalahan administrasi, yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma.
Baca Juga: Barang siapa pura-pura miskin demi dapat bantuan PKH, siap siap penjara menanti
"Dana desa di keempat desa itu sudah turun Rp 9,3 miliar dari 2017 (ke RKUD). Dari Rp 9,3 miliar, baru 47% yang disalurkan ke empat desa itu," tutur Benny.
Ia memastikan, pemeriksaan masih terus berlanjut. Sehingga, ada kemungkinan jumlah desa temuan yang bermasalah bertambah.
5. Literasi digital rendah dan kurangnya perlindungan pemerintah
Indonesia diprediksi menjadi negara terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di Asia. Selain itu Presiden Joko Widodo juga menargetkan ekonomi digital akan berkontribusi pada PDB mencapai Rp 730 triliun pada tahun 2025.
Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan dan perlindungan pemerintah terhadap ekonomi digital. Salah satu bukti, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melaporkan aduan terkait ekonomi digital merupakan yang terbanyak dalam tiga tahun terakhir.
Pengaduan yang terkait ekonomi digital berkisar 16% hingga 20% dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Hal itu disebabkan kurangnya literasi dan perlindungan dari pemerintah.
"Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce dan pinjaman online," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam siaran pers (20/12).
Literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah merupakan salah satu pendorong banyaknya laporan konsumen. Masyarakat Indonesia dinilai belum mampu memberikan prinsip kehati-hatian dalam Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Baca Juga: Sampai akhir 2019, Kemenkeu prediksi serapan belanja negara 95% dari target APBN
Selain literasi, regulasi masih menjadi kendala bagi perlindungan konsumen dalam sektor ekonomi digital. Bahkan Tulus bilang belum hadir dalam melindungi konsumen di era ekonomi digital.
Salah satunya masalah belum adanya Undang-Undang PDP. Selain itu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) juga masih belum menunjukkan penyelesaian.
Kedua regulasi itu diungkapkan Tulus sangat dibutuhkan. Oleh karena itu YLKI mendesak pemerintah segera mengesahkan dua aturan tersebut.
6. Penerimaan pajak jauh dari target
Akhir tahun 2019 tinggal menghitung jam. Artinya batas waktu otoritas pajak mengejar penerimaan negara semakin sempit. Mampukah Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menambal penerimaan pajak sebesar Rp 311 triliun?
Baca Juga: Investasi Jadi Kunci, Begini Jurus Pemerintah dan BI Mendorong Ekonomi 2020 premium
Berdasarkan bisikan sumber Kontan.co.id di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan pajak sampai dengan 26 Desember 2019 baru mencapai 80,29% dari target akhir tahun sebesar Rp 1.577,6 triliun. Artinya penerimaan pajak baru sekitar Rp 1.266,65 triliun.
Dengan target tersebut, otoritas pajak harus bergegas mengejar sekitar 19% dari total target ujung tahun 2019. Namun demikian, pemerintah menyadari bahwa pelemahan ekonomi global yang berdampak ke dalam negeri membuat realisasi penerimaan pajak meleset dari target yang ditetapkan.
Pencapaian penerimaan pajak sampai dengan November 2019 yang baru 72% dari target sudah mencerminkan kegelisahan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News