Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memutuskan menghapus mandat respending dalam rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 401 ayat 2 dan 3.
Kepala Pusat Kebijakan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Yuli Farianti menjelaskan, keputusan dilakukan melihat bahwa adanya mandatory spending kesehatan belum menunjukkan hasil yang efektif.
Maka perlu adanya terobosan dalam anggaran kesehatan, yakni dilakukan sesuai dengan perfomance based. Atau dengan kata lain penganggaran dengan berbasis kinerja.
Baca Juga: RUU Kesehatan Hapus Mandatory Spending Kesehatan, IDI: Kontradiktif
Sehingga ke depan akan disusun rencana induk kesehatan yang setiap tahun akan dibahas dengan DPR. Kemudian penganggarannya akan berbasis input-output berdasarkan rencana induk pembangunan kesehatan yang menjadi acuan.
Adapun plus minus sistem anggaran berbasis kinerja ialah, poin positifnya kata Yuli anggaran akan berdasarkan kinerja. Kemudian anggaran juga akan dihitung sesuai dengan kebutuhan.
"Jadi ada daerah yang dia tidak barangkali ada yang butuh sampai 10 atau tidak sampai, Saya mengamati beberapa akhirnya formulasi yang dipaksakan untuk semua daerah bisa masuk ke dalam mandatory spending, karena kewajiban daerah tersebut akhirnya formulasi itu disesuaikan, dan tidak tepat seperti itu," jelasnya dalam Kanal YouTube Kemenkes, Minggu (9/7).
Oleh karena itu, Yuli mengatakan nantinya anggaran kesehatan akan disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kinerja. Dengan penganggaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kinerja maka harapannya alokasi anggaran akan tepat sasaran.
"Kerugian saya rasa tidak ada," imbuhnya.
Namun, Yuli mengatakan akan ada sosialisasi mengenai rencana induk kesehatan. Mulai dari apa itu rencana induk kesehatan, detail, target dan yang akan dihitung dalam anggaran.
"Kemudian kita dampingi daerah dan pusat untuk kita masuk, tahun 2024 kalau ini disahkan, artinya 2023 kita mulai persiapan tahun 2024 langsung menyusun berdasarkan anggaran berbasis kinerja sesuai dengan acuan rencana induk kesehatan yang tetap mengacu pada RPJMN dan RPJPN," jelasnya.
Baca Juga: Ini Alasan Mandatory Spending Kesehatan Dicoret di RUU Kesehatan
Yuli melanjutkan bahwa, sebenarnya tidak ada number magic baik dari badan kesehatan dunia atau WHO maupun OECD yang mengatakan terkait mandatory spending kesehatan.
Menurutnya hanya ada global report pada Global Health Expenditure yang diupload dalam website WHO dari tiap negara termasuk Indonesia juga.
"Tapi 15% misalnya kok di negara lain kenapa 15% itu adalah belanja mereka. Tapi mereka tidak pernah memandatori spending bahwa angka belanja tersebut adalah 15%. Tidak ada satupun magic number di dalam benchmark negara lain, yang ada adalah mandatory services yang harus dilakukan dan dianggarkan dengan baik," jelasnya.
Sebagai informasi dihapuskannya mandatory spending dalam RUU Kesehatan menuai penolakan. Misalnya saja pada 7 Juli kemarin terdapat penolakan dari masa yang meminta adanya pengembalian mandatory spending pada RUU kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News