kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini kata pengamat pajak soal tax ratio 2020


Rabu, 22 Januari 2020 / 19:25 WIB
Ini kata pengamat pajak soal tax ratio 2020
ILUSTRASI. Ilustrasi Pajak. KONTAN/Muradi/2015/02/19


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan tax ratio berada di level 11,6% pada tahun ini. Pengamat pajak menilai angka tersebut terlalu optimistis lantaran penerimaan pajak di tahun ini masih banyak kendala mengingat tahun lalu realisasinya hanya mampu tumbuh 1,4% year on year (yoy).

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai pada dasarnya, target tax ratio pemerintah merujuk pada penerimaan dari arti luas yaitu penerimaan pajak, bea cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PBNB) Sumber Daya Alam (SDA).

Baca Juga: Tax ratio terkendala penerimaan pajak

Namun sebagai catatan, komposisi penerimaan pajak merupakan yang terbesar dari ketiganya sehingga segala pencapaiannya akan memengaruhi tax ratio secara signifikan.

Dari sisi target penerimaan pajak sebesar Rp 1.642 T di 2020, berarti diperlukan pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 23,2% dari realisasi pajak 2019 yg sebesar Rp 1.332 T. Kata Darusalam ini tentu bukan angka yang mudah terutama dengan masih adanya ancaman gejolak ekonomi global.

Padahal faktor ekonomi global tersebutlah yang membuat penerimaan pajak 2019 melemah karena berdampak bagi turunnya pajak dari perdagangan internasional, terutama di sektor manufaktur dan pertambangan.

Setali tiga uang, dalam konteks meningkatkan tax ratio mau tidak mau hal yang harus ditingkatkan dahulu adalah tax buoyancy yaitu elastisitas pertumbuhan penerimaan pajak atas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Baca Juga: Kemenperin: Tax holiday manjur tingkatkan gairah investasi industri kimia

Darussalam menilai setidaknya 1% pertumbuhan PDB secara nominal diterjemahkan menjadi pertumbuhan penerimaan pajak secara nominal sebesar 1% artinya tax buoayncy sama dengan satu. 

“Sayangnya, tren selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa tax buoyancy kita hanya kurang dari 1, kecuali di 2018 yang mencapai 1,4. Berarti permasalahannya adalah ada tax gap di sektor yg selama ini PDB-nya tumbuh pesat,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Rabu (22/1)

DDTC melihat hal inilah yang harus dipetakan dan diatasi. Pemerintah perlu mengkaji lebih dalam apakah ini diakibatkan oleh masalah kepatuhan dan administrasi pajak (compliance gap) atau justru kebijakannya yang kurang optimal (policy gap).

Baca Juga: Pemerintah optimistis penerimaan PNBP capai target dan sokong tax ratio

Di sisi lain, Darussalam menyarankan tiga strategi yang perlu ditempuh otoritas pajak untuk mendongkrak penerimaan pajak. Pertama, perluasan basis pajak. Kedua, meningkatkan kepatuhan melalui teknologi dan optimalisasi data. Ketiga, revisi Undang-Undang dalam rangka menutup policy gap.

“Seluruh hal tersebut pada dasarnya telah dipertimbangkan dan sudah dimulai oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jangan justru membuat kebijakan semacam tax amnesty lagi karena akan menggerus moral pajak masyarakat,” kata dia.

Di sisi lain dari, penerimaan cukai sebagai salah satu perhitungan tax ratio, Darussalam menilai juga akan mengalami pertumbuhan yang melambat, khususnya bagi tembakau. Hal ini didasari karena tarif cukai hasil tembakau (CHT) naik 23% dan harga jual eceran (HJE) 35%, sementara produksi rokok turun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×