kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Ini isi pidato TP Rachmat usai dianugerahi Doktor Honoris Causa dari ITB (Bagian 1)


Sabtu, 06 Juli 2019 / 16:26 WIB
Ini isi pidato TP Rachmat usai dianugerahi Doktor Honoris Causa dari ITB (Bagian 1)


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -BANDUNG. Institut Teknologi Bandung (ITB) menganugerahi gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) kepada Theodore Permadi (TP) Rachmat atas kontribusinya terhadap perkembangan teknologi. Sumbangsihnya di industri manufaktur dengan membangun kerajaan bisnis di Indonesia dianggap laik untuk mendapat gelar tersebut.

Pemberian gelar Doktor Kehormatan tersebut kepada TP Rachmat bertepatan dengan peringatan Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia ke-99 tahun di Aula Barat, Kampus ITB, Jalan Ganesa, Kota Bandung, Rabu (3/7). TP Rachmat menjadi sosok ke-13 yang mendapat gelar tersebut dari ITB.

Begini kutipan asli dari Pidato TP Rachmat usai dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa:

Sebelum saya mulai, saya harus berterus terang, bahwa menyiapkan pidato pagi ini adalah salah satu yang paling sulit. Berdiri di sini, di depan jajaran pendidik, praktisi, tokoh-tokoh bisnis dan tokoh-tokoh bangsa, membuat saya sulit memilih hal apa yang perlu saya sampaikan.

Terlebih lagi, seumur hidup saya tidak pernah membayangkan berdiri di mimbar ini, untuk tujuan seperti ini. Menjadi sebuah kehormatan bagi saya, dan menjadi momen yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup saya. Saya hanya berharap agar paparan sederhana yang akan saya sampaikan ini berkenan dan bermanfaat bagi Bapak dan Ibu sekalian.

Izinkan saya memulai pidato yang berjudul “Karakter dan Mindset Sebagai Penentu Keberhasilan dan Kelangsungan Bangsa” ini, dengan bercerita sedikit tentang masa kecil dan keluarga saya.

Saya lahir di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka, sekitar 75 tahun yang lalu. Saya adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara. Ayah saya bernama Raphael Adi Rachmat, dan Ibu saya bernama Augustine. Saya memiliki satu kakak, Alm. Benny Rachmat, dan satu adik, Ibu Linda Rachmat.

Di usia 28 tahun, saya menikah dengan Ibu Like Rani Imanto. Dari pernikahan kami, Tuhan mengaruniakan 3 anak yang sangat saya cintai dan banggakan: Christian Ariano Rachmat, Arif Patrick Rachmat, dan Ayu Rachmat.

Sebelum berbicara mengenai banyak hal, izinkan saya untuk berterima kasih yang tulus kepada istri saya, Ibu Like, atas dukungan, pengertian, dan doa yang tak pernah putus sepanjang perjalanan hidup kami. Dan kepada Ario, Arif, dan Ayu, yang senantiasa mengindahkan nasihat orang tuanya dan terus menjaga kehormatan dan nilai-nilai luhur keluarganya.

Semasa kecil saya, kami relatif lebih beruntung secara ekonomi. Saya bersyukur Tuhan menganugerahi kami dengan hidup yang berkecukupan. Lebih bersyukur lagi, karena kedua orang tua saya mencontohkan cara hidup yang sangat sederhana. Tidak berlebihan, tidak memanjakan kami sebagai anak.

Kala itu, saya mengamati banyak kesenjangan sosial yang terjadi di luar keluarga saya. Banyak sekali keluarga dan anak-anak yang tidak seberuntung saya. Dari mengamati, mulai muncul keinginan dalam diri saya, untuk suatu saat bisa membantu orang lain.

Saat itu, orang tua saya memiliki usaha. Skalanya waktu itu belum terlalu besar, tapi mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Saya mencatat berbagai perilaku orang tua sebagai pebisnis, khususnya dalam hal menjaga reputasi. Orang tua saya selalu mengingatkan bahwa kami, anak-anaknya harus habis-habisan menjaga reputasi, walaupun itu berisiko pada kurangnya income bagi keluarga di saat-saat susah.

Keluarga, mengajarkan arti penting sifat peduli, kesederhanaan hidup, memaafkan, dan menjaga nama baik. Masa kecil sampai kuliah saya jalani di kota ini, kota Bandung, yang oleh seorang psikolog Belanda, MAW Brouwer, disebut sebagai “tempat yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum”.

Selepas dari SMP dan SMA Santo Aloysius, saya melanjutkan sekolah ke Departemen Teknik Mesin ITB, dulu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Selama belajar di ITB, saya bersyukur mendapatkan bimbingan dari para maestro yang kompeten dan menginspirasi: Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, Alm. Prof. Samudro, Alm. Prof. Oetarjo Diran, Alm. Prof. Dr. H. Mathiaas Aroef, Alm. Prof. Ir. Partosiswojo, dan banyak lagi dosen-dosen hebat namun tidak bisa saya sebut satu persatu.

Untuk semua pendidik ITB, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Mereka mengajar dan melatih saya untuk menjadi pribadi yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan berpikir logis serta sistematis.

Mereka juga mengajarkan kepada saya untuk selalu mencari, memahami, serta menghormati fakta maupun data, sebelum mengemukakan pendapat ataupun dalam mengambil keputusan. Dan yang terutama, mereka selalu berpesan agar kami selalu berupaya untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk peningkatan kualitas kehidupan.

Terus terang, saya bukan tipe orang yang rajin belajar. Proses pendidikan di Departemen Teknik Mesin ITB tidak sepenuhnya mulus. Banyak juga rintangannya, termasuk yang masih saya ingat, saya harus mengulang ujian sebuah mata kuliah yaitu mata kuliah Teknik Pengatur, sampai 17 kali sebelum dinyatakan lulus.

Saya bersyukur, ditangani langsung oleh para pendidik yang memiliki jiwa mendidik yang luar biasa, dan memiliki standar yang tinggi. Semua itu mengasah saya untuk tumbuh menjadi pribadi yang adaptif, tidak mudah menyerah, dan berkomitmen terhadap pilihan hidup saya.

Pendidikan di ITB juga mengajarkan saya untuk menghormati dan menegakkan integritas melalui fakta dan data, mengukur dan menimbang sebelum berpendapat atau memutuskan, tidak semata-mata bergantung pada opini atau informasi yang belum tentu benar.

ITB mengajarkan kepada saya untuk memiliki nilai kepeloporan, kejuangan, pengabdian, dan keunggulan. Keempat nilai itu, sungguh selaras dengan nilai pribadi saya. Secara sadar maupun tidak, sepanjang hidup saya, saya mengamalkan keempat nilai luhur tersebut.

Sebagai sebuah institusi pendidikan terkemuka, saya amat yakin bahwa ITB akan terus berada di garis depan untuk membangun karakter generasi penerus. Sangat besar harapan saya agar ITB terus berjuang menjadi entitas pendidikan yang IMBANG, BERKUALITAS, dan PRODUKTIF.

IMBANG dalam arti terus mencetak generasi penerus yang tidak hanya pandai secara intelektual, kompeten secara teknis, namun juga matang sebagai pribadi dan kokoh prinsip-prinsip kebangsaannya.

Kematangan pribadi yang saya maksud adalah beberapa karakter berikut ini. Yang pertama: Rendah Hati. Yang kedua: memiliki GRIT. Istilah GRIT dilontarkan oleh Angela Duckworth - seorang psikolog dari Amerika untuk menggambarkan dimilikinya semangat yang menyala-nyala (passion) dan daya tahan dalam menghadapi berbagai masalah (perseverance). Yang ketiga: Keinginan Untuk.

Bukan semata-mata keinginan untuk menerima atau mengambil (TAKERS). Pendidikan karakter seperti ini kadang kita nomorduakan, padahal kita semua tahu, bahwa manusia-manusia unggul adalah manusia yang tidak hanya pintar tapi juga berkarakter. Tanpa karakter yang baik dan kokoh, bangsa ini akan kesulitan mewujudkan cita-cita luhurnya.

Dalam situasi seperti sekarang ini, lembaga pendidikan juga berperan sebagai palang pintu pencetak generasi penerus yang cinta pada bangsanya dan setia pada prinsip-prinsip kebangsaan yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Lembaga pendidikan harus menyatakan sikap dengan tegas tentang prinsipprinsip kebhinekaan, NKRI, dan UUD 45.

BERKUALITAS dalam arti ITB sebagai institusi pendidikan tinggi terus berupaya untuk memastikan agar proses dan hasil pendidikannya semakin relevan terhadap perubahan zaman serta buah pendidikan dan juga risetnya memberikan dampak yang makin besar bagi bangsa dan kemanusiaan secara luas.

PRODUKTIF dalam arti ITB tidak hanya mencetak lulusan yang berkualitas dari pendidikannya, namun juga menjadi pabrik riset dan penemuan, serta menjadi tuan rumah dan inisiator dari berbagai upaya untuk memajukan bangsa dan kualitas umat manusia melalui ilmu pengetahuan.

Saya akan terus mendukung upaya ITB untuk mewujudkan harapan para pendiri ITB, yang tercermin dalam lambang ITB: Ganesha. Ganesha adalah simbol pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebajikan.

Semoga ITB terus berkarya menjadi lembaga pendidikan yang selalu menjadi sumber pengetahuan, tidak pernah berhenti berbagi ilmu, tidak ragu berkorban untuk kepentingan yang lebih mulia, dan hidup suci dalam pengabdian bagi kemanusiaan.

Selanjutnya Bagian 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×