Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, kembali tak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa sebagai tersangka. Melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Hadi menyatakan bahwa ia menunggu proses praperadilan yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Beliau tidak hadir karena sedang diajukan praperadilan," ujar Maqdir melalui pesan singkat, Jumat (10/4/2015).
Maqdir mengatakan, anggota tim kuasa hukum lainnya, Yanuar Wasesa, telah menyampaikan surat keterangan ketidakhadiran Hadi kepada KPK pada hari ini. Panggilan penyidik kali ini merupakan panggilan ketiga untuk Hadi.
Pada panggilan pertama, Hadi tidak hadir tanpa keterangan. Sementara, pada panggilan kedua, Hadi beralasan mengalami gangguan jantung sehingga tidak dapat memenuhi panggilan KPK.
Atas penetapannya sebagai tersangka, Hadi menggugat KPK melalui praperadilan. Menurut Yanuar Wasesa, Hadi menilai, KPK tidak berwenang menyelidiki kewenangannya sebagai Dirjen Pajak dalam menerima atau menolak keberatan wajib pajak. Hal tersebut, kata Yanuar, diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU Nomor 99 Tahun 1994 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KPP).
Lagi pula, menurut Yanuar, putusan menerima keberatan pajak PT BCA tahun 1999 bukan ranah tipikor. Hal tersebut, kata dia, diatur dalam Pasal 14 UU Tipikor bahwa pelanggaran UU perpajakan masuk ke ranah tipikor jika ada uang timbal balik dari pelanggar pajak.
"Ini tidak ada. Ketua KPK dulu Abraham Samad kira-kira itu ngomong, KPK tidak bisa (menangani) kecuali ada feedback. Menerima keberatan pajak itu kan bukan kebijakan, tetapi kewenangan," kata Yanuar.
Sidang praperadilan Hadi sedianya digelar pada 30 Maret 2015 lalu. Namun, hakim memutuskan menunda sidang hingga dua pekan menjadi tanggal 13 April 2015 karena tim hukum KPK tidak menghadiri sidang.
Dalam kasus ini, Hadi selaku Dirjen Pajak diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan surat ketetapan pajak nihil pajak penghasilan (SKPN PPh) BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performance loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak. Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu. Atas penerimaan keberatan itu, negara dirugikan senilai Rp 375 miliar. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News