Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam RAPBN 2026 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2%–5,8% dinilai mengandung kontradiksi serius dan berisiko melemahkan fondasi fiskal Indonesia ke depan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman menyoroti penurunan porsi belanja negara dalam RAPBN 2026 yang hanya berkisar 14,19%–14,83% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: DPR Minta Pemerintah Terapkan 5 Kebijakan untuk Kejar Target Pendapatan Negara 2026
Menurutnya, hal ini tidak sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang cukup ambisius.
“Ini kontradiktif dan mengkhawatirkan. Di tengah lemahnya permintaan domestik dan belum pulihnya investasi swasta, seharusnya belanja pemerintah menjadi motor utama pertumbuhan. Jika belanja justru diketatkan, ruang untuk mendorong sektor produktif akan terbatas,” kata Rizal kepada Kontan.co.id, Selasa (22/7/2025).
Ia menegaskan, belanja pemerintah selama ini menjadi penopang utama pemulihan pascapandemi.
Oleh karena itu, arah kebijakan fiskal tahun 2026 yang terkesan defensif bukan ekspansif berpotensi menimbulkan kesenjangan antara target makro dan realisasi di lapangan.
Tak hanya dari sisi belanja, Rizal juga menyoroti penurunan proyeksi pendapatan negara ke kisaran 11,71%–12,31% terhadap PDB.
Ia menilai, angka tersebut mencerminkan menurunnya optimisme fiskal, padahal kebutuhan belanja justru meningkat.
Baca Juga: Prabowo Panggil Menteri-Menteri Bahas KEK hingga RAPBN 2026
“Jika tren ini berlanjut, struktur APBN akan semakin rapuh: belanja besar, penerimaan stagnan, dan pembiayaan ditopang oleh utang. Ini dampak dari reformasi perpajakan yang masih setengah hati,” ujarnya.
Ia menilai perluasan basis pajak belum optimal, tingkat kepatuhan masih rendah, dan banyak insentif fiskal belum tepat sasaran.
Kondisi ini diperparah oleh masuknya periode transisi politik, yang biasanya disertai program-program populis dengan tekanan pembiayaan tinggi.
Rizal pun mengingatkan adanya potensi mismatch fiskal pada tahun 2026, yakni peningkatan belanja untuk program politis di tengah kapasitas penerimaan negara yang menurun.
“Tanpa intervensi serius, pembiayaan defisit akan semakin bertumpu pada utang. Ini mempersempit ruang fiskal jangka menengah,” katanya.
Karena itu, Rizal menekankan pentingnya arah kebijakan yang fokus pada dua hal: reformasi perpajakan yang lebih berani serta pengendalian belanja yang tidak produktif.
Baca Juga: Asumsi Pertumbuhan Ekonomi di RAPBN 2026 Disepakati 5,2%-5,8%
Jika tidak dilakukan, risiko terbesar bukan hanya pelebaran defisit, tetapi juga hilangnya kredibilitas APBN sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan.
“Tahun 2026 seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas belanja negara, bukan sekadar menjalankan program-program politis bernilai besar namun berdampak ekonomi rendah,” tandasnya.
Selanjutnya: Masih Ada Sekolah Tanpa Akses Air Minum dan Sanitasi, BeginI langkah Guardian
Menarik Dibaca: Dukung UMKM Naik Kelas, Pegadaian Perkuat Ekosistem Usaha Lewat Gaderian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News