Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen (IHK) mencatatkan deflasi sebesar 0,76% month to month (MtM) pada Januari 2025.
Artinya, terjadi penurunan IHK dari 106,90 pada Desember 2024, menjadi 105,99 pada Januari 2025.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyampaikan, deflasi pada Januari 2025 tidak sepenuhnya dipengaruhi diskon tarif listrik sebagaimana yang disampaikan oleh BPS.
Untuk diketahui, pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50% untuk pengguna daya listrik dibawah 2.200 VA selama Januari-Februari 2025.
“Dengan melihat tren konsumsi masyarakat dan tekanan ekonomi global, ada indikasi kuat bahwa deflasi ini juga mencerminkan lemahnya daya beli, bukan sekadar turunnya harga karena faktor teknis” tutur Rizal kepada Kontan, Senin (3/2).
Rizal memperkirakan, apabila masyarakat sudah mulai menahan belanjanya, maka roda ekonomi dikhawatirkan melambat, investasi melemah, dan dunia usaha akan tertekan akibat turunnya permintaan.
Baca Juga: Inflasi Tahunan Januari Capai 0,76%, BPS : Terendah dalam 25 Tahun
Jika kondisi ini terus berlangsung, Rizal khawatir kondisi perekonomian Indonesia berpotensi mengalami perlambatan lebih dalam.
Menurutnya, deflasi yang berlanjut bisa menciptakan lingkaran setan, yang mana masyarakat menunda konsumsi karena ekspektasi harga akan terus turun, bisnis kehilangan insentif untuk ekspansi, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi stagnan atau bahkan negatif.
“Ini sangat berbahaya, terutama jika ditambah dengan sektor industri yang lesu dan ketidakpastian global yang masih tinggi,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Rizal bilang, pemerintah tidak bisa hanya berdiam diri dan menganggap deflasi ini sebagai fenomena sementara. Sebab, jika daya beli terus melemah, maka dampaknya akan sangat serius terhadap investasi, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ia menyarankan agar pemerintah segera bertindak dengan strategi yang konkret.
Pertama, kebijakan fiskal harus lebih agresif dalam mendorong konsumsi, misalnya dengan menyalurkan bantuan langsung tunai yang lebih terarah ke kelompok masyarakat yang paling terdampak.
Kedua, stimulus terhadap sektor riil harus diperkuat, baik melalui insentif pajak bagi UMKM dan industri padat karya maupun kebijakan yang mendorong investasi lebih cepat.
Ketiga, pemerintah harus memastikan stabilitas harga pangan dan kebutuhan pokok, karena jika deflasi terjadi sementara harga-harga pokok masih tinggi bagi kelompok berpenghasilan rendah, maka ketimpangan ekonomi justru akan memburuk.
Keempat, sinyal kebijakan moneter harus selaras dengan kebijakan fiskal, yang mana suku bunga dan likuiditas di pasar keuangan harus tetap mendukung ekspansi ekonomi, sebaliknya tidak memperburuk situasi dengan kebijakan yang terlalu ketat.
“Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka bukan tidak mungkin deflasi ini menjadi awal dari perlambatan ekonomi yang lebih serius di 2025,” tandasnya.
Baca Juga: BPI Danantara Segera Dibentuk, Dapat Modal Awal Rp 1.000 Triliun
Selanjutnya: Aktor Taiwan Barbie Hsu Meninggal Dunia Akibat Flu
Menarik Dibaca: Bunga Deposito BTN di Februari 2025, Tertinggi 5,00%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News