kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.210   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Implementasi BI awasi penggunaan Rupiah jadi kunci


Kamis, 09 April 2015 / 22:26 WIB
Implementasi BI awasi penggunaan Rupiah jadi kunci
ILUSTRASI. stvgott


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat transaksi valas di Indonesia secara kasat mata memang sangat banyak dilakukan. Langkah BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mewajibkan penggunaan rupiah sangat baik karena segala usaha harus dilakukan untuk mengecilkan bahkan menghilangkan transaksi valas yang tidak seharusnya terjadi.

Selanjutnya yang terpenting adalah implementasi di lapangan. Sebelum kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi non tunai dilakukan 1 Juli, BI dan otoritas terkait harus melakukan sosialisasi yang gencar bagi kalangan industri. "Harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia," terang Josua ketika dihubungi KONTAN, Kamis (9/4).

Implementasi kebijakan ini harus diawasi dan dimonitor terus-menerus. Selain mengatur penggunaan rupiah, yang juga harus terus digalakkan oleh BI adalah pengendalian Utang Luar Negeri (ULN) swasta. ULN swasta meskipun melambat, namun porsinya masih lebih besar dari ULN pemerintah.

Aturan yang dikeluarkan BI untuk melakukan kehati-hatian dalam pengelolaan ULN yaitu dengan lindung nilai atau hedging implementasinya masih kurang. Kalau kedua kebijakan tersebut berhasil maka ketahanan dalam negeri Indonesia akan kuat menghadapi goncangan eksternal yang setiap saat bisa terjadi.

Di sisi lain, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai transaksi valas US$ 6 miliar per bulan adalah angka yang besar. Permintaan yang tinggi seharusnya adalah permintaan terhadap rupiah dan bukan dollar.

Bulan Mei dan Juni adalah bulan yang sangat rentan bagi rupiah. Berdasarkan pantauan David, nilai repatriasi dividen yang terjadi setiap akhir triwulan II setiap tahunnya mencapai US$ 8 miliar-US$ 9 miliar. Kondisi ini belum ditambah persiapan menjelang Lebaran yang menyebabkan impor melonjak.

Alhasil, rupiah dalam jangka pendek kecenderungannya bergerak dalam rentang Rp 12.900-Rp 13.200 per dollar AS. Maka dari itu, kebijakan yang efektif harus dikeluarkan BI dan pemerintah untuk menjaga rupiah dari permintaan yang tidak perlu.

Kewajiban penggunaan rupiah yang dikeluarkan BI haruslah jelas dan tegas. "Kalau ada pelanggaran harus benar-benar ditangkap dan diproses," tandas David.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×