Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) akan melaporkan kasus lelang gula kristal rafinasi (GKR) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu dekat.
Peneliti ICW Egi Primayogha menjelaskan penyelenggaraan pasar lelang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan bahkan memiliki indikasi menguntungkan pihak tertentu.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh ICW, terdapat beberapa hal yang disoroti. Pertama, pelaksanaan penetapan penyelenggara pasar lelang yang tidak sesuai dengan kewenangan.
Dalam Permendag No. 16/2017 tentang perdagangan GKT melalui pasar lelang komoditas, penyelenggaraan lelang GKR ditetapkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), di mana Beppebti hanya berfungsi sebagai pengawas.
"Dia betul di bawah Kemdag, tapi dilihat dari nama dan tugasnya yakni pengawas perdagangan ini justru bisa menimbulkan konflik kepentingan," ujar Egi, Rabu (28/3).
Menurut Egi, dalam Perpres No 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa, proses pelaksanaan lelang penyelenggara lelang pasar gula rafinasi seharusnya dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP).
ICW pun melihat adanya ketidakjelasan proses dan mekanisme penunjukan penyelenggara pasar lelang. Menurut ICW, proses penunjukan penyelenggara pasar lelang berjalan cepat dan diindikasi tidak transparan.
Egi menjelaskan, penunjukan PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ) sebagai penyelenggara lelang hanya dalam kurun waktu 2 bulan sejak Permendag No 16/2017 ditetapkan. Permendag tersebut ditetapkan pada 15 Maret 2017, sementara penyelenggara lelang ditetapkan pada 12 Mei 2017.
Ada pula 7 perusahaan yang diundang untuk mengikuti lelang, dan hanya 6 perusahaan yang mendaftar. Namun, hanya PT PKJ yang berhasil lolos cek teknis. Padahal dalam Perpres No 4/2015, ada peraturan yang mengharuskan dalam pengadaan barang dan jasa, mengharuskan adanya keahlian, pengalaman dan kemampuan teknis bagi penyedia barang/jasa pemerintah.
Penyedia barang/jasa juga harus memperoleh paling kurang satu pekerjaan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. "Kalau kita lihat PT PKJ, keahliaannya belum ada karena baru berdiri 29 November 2016, pengalaman dan kemampuan juga belum ada. Dia juga belum mendapatkan pekerjaan apa-apa. Artinya ini bertentangan dengan Perpres No 4/2010," terang Egi.
Selanjutnya, adanya potensi hilangnya penerimaan negara. Melalui Permendag 16/2017 ini, PT PKJ diberikan keleluasaan untuk mengenakan biaya transaksi. Namun, saat ditelusuri ICW, tidak ada kepastian biaya transaksi dalam mengikuti lelang tersebut.
Dari informasi yang diterima ICW ada yang menyebutkan bahwa biaya transaksi mencapai 200.000 per ton di mana Rp 50.000 dikenakan kepada pembeli dan 150.000 kepada penjual. Ada pula yang menyebut biaya transaksi dikenakan kepada pembeli sebesar Rp 85.000 per ton.
"Seharusnya ada perjanjian atau peraturan secara resmi yang memuat tentang hal ini," tambah Egi.
Bila biaya transaksi tersebut ditetapkan Rp 85.000 per ton, dan kebutuhan gula untuk industri sebanyak 3 juta ton, maka penyelenggara lelang dapat memperoleh Rp 225 miliar. Penerimaan ini pun belum termasuk biaya lain seperti biaya kepesertaan, biaya keanggotaan, dan lainnya.
"Artinya negara bisa berpotensi merugi, bisa dikelola PT PKJ saja, negara tidak mendapat penerimaan apa-apa," kata Egi.
Tidak adanya kejelasan biaya ini pun melanggar Perpres No. 4/2015 yang mengatur tentang adanya keharusan kontrak atau perjanjian tertulis. Di mana, adanya kontrak dapat memberikan kejelasan mengenai hubungan timbal balik antara aktor pemerintah dan swasta.
ICW meminta supaya aparat hukum segera melakukan penyelidikan terhadap penyelenggaraan pasar lelang GKR ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News