kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Hipmi: Pemerintah perlu waspadai kenaikan inflasi akibat naiknya biaya produksi


Minggu, 05 Desember 2021 / 12:33 WIB
 Hipmi: Pemerintah perlu waspadai kenaikan inflasi akibat naiknya biaya produksi
ILUSTRASI. Hipmi menyebut, pemerintah perlu waspadai kenaikan inflasi akibat naiknya biaya produksi.


Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah perlu mewaspadai imbas disrupsi logistik perdagangan global terhadap peningkatan inflasi. Ini menyebabkan terganggunya pasokan logistik pada saat tumbuhnya permintaan setelah pandemi Covid-19 mereda.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H. Maming mengatakan, inflasi Indonesia memang masih berada di tingkat yang rendah. Namun, Indonesia perlu mengendalikan inflasi sesuai dengan kebutuhan, dan ia menilai upaya pemerintah mendorong inflasi ke angka 3% pada tahun 2022 merupakan langkah yang tepat.

“Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan kenaikan inflasi yang sesuai. Kita harus yakin pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 tumbuh maksimal, jika situasi pandemi bisa terkontrol," ujar Maming, dalam keterangan tertulis, Kamis (2/12).

Kalaupun inflasi naik, Maming mewanti-wanti agar kenaikan inflasi harus berasal dari naiknya permintaan. Menurutnya, pemerintah harus menghindari kenaikan inflasi yang berasal dari tekanan produksi atau distribusi, yakni cost-push inflation.

Baca Juga: Pemerintah akan hapus ketentuan tax holiday, Hipmi: Akan berdampak ke minat investasi

Cost-push inflation merupakan inflasi yang didorong naiknya biaya produksi di sisi produsen, sehingga ikut mendorong inflasi di sisi konsumen dan bukan karena naiknya permintaan. Artinya inflasi ini justru akan menurunkan daya beli masyarakat.

Ia menilai, jika inflasi 3% pada tahun 2022 tercapai, tetapi merupakan cost-push inflation, Indonesia justru akan menghadapi masalah baru, dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang dikhawatirkan tidak terjadi atau tercapai. “Dengan kondisi tidak sehat, bagi pengusaha muda pun akan sulit mengembangkan usaha,” katanya.

Menurut mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan itu, untuk mencegah hal tersebut, Bank Indonesia (BI) perlu berkolaborasi dengan pemerintah, khususnya kementerian-kementerian terkait. upaya menjaga inflasi dari sisi moneter dinilai tidak akan cukup jika cost-push inflation terjadi.

"Hipmi menyoroti masih tingginya ego sektoral kementerian-kementerian di Indonesia, sehingga perlu upaya ekstra untuk memastikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi terjadi dengan sehat. Kami menilai bahwa BI dan pemerintah harus memiliki komitmen yang sama untuk menjaga perekonomian dengan baik," ujarnya.

Ia menambahkan, kebijakan moneter apabila tidak dikonversi menjadi aktivitas ekonomi, justru akan memicu matinya roda perekonomian. Oleh karena itu, Maming menilai, ini harus disertai dengan aktivitas ekonominya, seperti menciptakan pabrik baru, agar terjadi demand pull inflation.

"Kenaikan inflasi tersebut akan mendorong untuk melakukan pengetatan moneter. Hal inilah yang harus diwaspadai karena akan berimplikasi secara global, termasuk di negara-negara berkembang," tutur Maming.

Sekedar diketahui, tekanan inflasi global (imported inflation) menjadi salah satu risiko yang akan muncul pada 2022. Permintaan akan naik seiring aktivitas ekonomi global mulai bergerak, tapi terjadi kelangkaan barang-barang pabrikan.

Lonjakan inflasi yang terjadi di tingkat global saat ini terjadi karena adanya disrupsi dari sisi produksi dan suplai komoditas yang diikuti dengan peningkatan harga. Hal ini dikhawatirkan akan berimplikasi pada upaya pemulihan ekonomi yang tengah dilakukan banyak negara.

Risiko-risiko lainnya yang perlu diwaspadai adalah pandemi Covid-19 sering kembali merebaknya varian Omicron di berbagai negara, volatilitas harga komoditas, implikasi kenaikan suku bunga di negara maju terutama AS, rebalancing ekonomi Tiongkok, serta disrupsi rantai pasok dan dinamika geopolitik.

Baca Juga: Hipmi sebut penetapan UMP 2022 telah sesuai kondisi terkini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×