Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman stagflasi diperkirakan akan melanda ekonomi global dalam 12 bulan ke depan. Hal ini dikhawatirkan dapat berimbas ke perekonomian Indonesia.
Berdasarkan hasil survei fund manager Bank of America (BoA), menemukan bahwa 71% manajer memperkirakan stagflasi akan melanda ekonomi global dalam 12 bulan ke depan. Stagflasi adalah kondisi inflasi meningkat dan pelambatan ekonomi yang terjadi bersamaan.
Sebelumnya para ahli strategi di Stifel, BCA Research, dan UBS Global Wealth Management semuanya telah menyuarakan kekhawatiran tentang stagflasi dalam beberapa minggu terakhir.
Sejumlah Ekonom tanah air juga sepakat bahwa ancaman stagflasi global akan merimbas pada risiko rupiah yang semakin tertekan, hingga refinancing yang sulit dikarenakan kualitas belanja buruk dan beban utang yang tinggi.
Baca Juga: Kewaspadaan Menguat di Pasar Asia di Tengah Kekhawatiran Tarif dan Stagflasi
Ekonom sekaligus Pengamat Keuangan dan Pasar Modal, Budi Frensidy menyampaikan kekhawatirannya terkait hal tersebut. Menurutnya tanda-tanda stagflasi sudah terlihat dari data manufacturing USA seiring dengan bond yield tenor 10 tahun dan bunga The Fed yang tidak turun. Akibatnya ada aliran dana masuk ke US dari emerging market seperti Indonesia.
"Agak mengkhawatirkan karena pertumbuhan ekonomi melambat di saat inflasi tidak turun bahkan cenderung naik. Di pasar kita, investor keluar baik dari equity maupun bond market sehingga tekanan terhadap rupiah menjadi cukup besar," ungkap Budi kepada Kontan, Rabu (26/3).
Sementara itu Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menyampaikan, tanda-tanda stagflasi global juga sudah terlihat dari tren kenaikan harga emas yang terus menerus di market, serta harga cooper atau tembaga yang juga mulai naik. Jika rasio Cooper/Emas naik maka ini menandakan bahwa sisi produksi dunia, terutama AS dan China mulai bergerak, meski pun saat ini rasionya masih menurun.
"Artinya memang global hedge fund melakukan rebalancing posisi inflasi (naiknya harga cooper) tapi juga sekaligus menyimpan emas sebagai instrumen hedging ketidakpastian. Itu, kenapa trennya sepanjang 2025 stagflasi," ungkapnya pada Kontan.
Tanda-tanda lainnya adalah inflasi dan sektor tenaga kerja yang telah menunjukan pemulihan, ditambah kebijakan BOJ (Bank of Japan) yang menuru ke arah bunga tinggi dan menyerap uang beredar dengan melakukan normalisasi neraca moneter dan menjual surat utang. Begitu juga Bank Central China (PBoC) dan Eropa (ECB) berkutat dari upaya mencegah krisis properti jadi crash di pasar keuangannya, setelah saat ini menurunkan sisi produksi di China.
Dengan tanda-tanda tersebut, Yanuar menilai akan sulit bagi Indonesia jika terdampak stagflasi global mengingat Indonesia memiliki kualitas belanja yang buruk dalam 10 tahun terakhir, penambahan surat utang, hingga beban surat utang jatuh tempo. Lainnya adalah faktor ekspor-impor dengan China melambat, dan uang beredar ketat The Fed dan yang akan berat, juga uang ketat BOJ.
Mengantisipasi dampak terburuk dari Staglasi global ini, Yanuar mengatakan, pemerintah harus menciptakan trust kepada pasar, sehingga transaksi antar kelas terjadi, serta memitigasi konflik sosial dan penegakan hukum terkait Korupsi, Kolusi dan nepotisme.
"Sehingga ini mendahului kurva sebelum isu-isu tersebut digunakan pasar untuk mendorong pemburukan pasar keuangan Indonesia di saat beban fiskal yang melebar dan biaya moneter meningkat, unsur isu persepsi bisa membuat situasi lebih buruk," ungkap Yanuar.
Baca Juga: Ramalan Ekonom: Tarif Trump Bisa Picu Guncangan Stagflasi yang Menyakitkan
Ia juga menyampaikan, agar Indonesia harus belajar kepada pemerintahan China pada peristiwa Maret 1998 yang dapat melangkah di depan kurva menyapu isu yang bisa memperburuk ekonominya.
"Kita jangan sampai seperti Bangladesh 2024 yang pemerintahnya asyik sendiri dan menciptakan konflik sosial di saat fiskal pun terbatas untuk bansos dalam masa stagflasi," ungkapnya.
Di sisi lain, Noor Faisal Achmad, Kepala Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan, dalam menghadapi dampak terjadinya potensi stagflasi pada perekonomian global, pemerintah tentunya agar dapat berupaya menjaga daya beli masyarakat.
"Pemerintah juga bersama dengan otoritas moneter perlu melakukan berbagai bauran kebijakan yg dilakukan secara prudent, bertujuan untuk mendukung kelangsungan usaha agar tetap mampu bertahan dan berproduksi sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap peningkatan pengangguran," ungkapnya kepada Kontan, Rabu (26/3).
Faisal juga bilang, dalam upaya mitigasi tersebut, biasanya akan terdampak kepada beberapa aspek, sehingga Pemerintah harus memantau dengan intens pergerakan ekspor komoditas utama, pergerakan harga impor karena harga energi dan pangan, appetite investor asing dlm menyimpan dananya, pergerakan kurs rupiah, pergerakan IHSG.
"Demikian juga dengan pergerakan suku bunga acuan BI dan suku bunga kredit dari perbankan. Sejalan dengan pemantauan terhadap sektor-sektor terdampak dan potensi bertambahnya pengangguran," jelasnya.
Selanjutnya: Samudera Indonesia Bocorkan Progres Pembangunan Terminal Peti Kemas Patimban
Menarik Dibaca: KAI Sudah Layani 1 Juta Penumpang di Masa Angkutan Lebaran 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News