Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang ekonomi global.
Dengan menerapkan tarif impor sebesar 25% terhadap Kanada dan Meksiko serta tambahan 10% untuk barang-barang dari China, langkah ini memicu ketidakpastian di pasar keuangan internasional.
Kebijakan ini dijelaskan sebagai bagian dari upaya AS dalam menghadapi keadaan darurat nasional terkait peredaran obat fentanil dan imigrasi ilegal. Namun, setelah mendapat reaksi dari Kanada dan Meksiko, Trump menunda pemberlakuan tarif untuk dua negara tersebut selama 30 hari.
Baca Juga: Tarif Impor AS Dimulai, Rupiah Berpotensi Tertekan di Perdagangan Senin (3/2)
Economist KISI Asset Management, Arfian Prasetya Aji, mengatakan, keputusan ini berdampak langsung pada pergerakan mata uang global, terutama terhadap indeks dolar AS yang sempat melonjak hingga 109,86 sebelum kembali mereda.
Di Indonesia, rupiah terdepresiasi hingga menyentuh level 16.483 per dolar AS sebelum menguat kembali ke 16.371. "Ketidakpastian ini mencerminkan bagaimana kebijakan perdagangan AS dapat memicu volatilitas di pasar keuangan global," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (17/2).
Dampak kebijakan tarif ini, lanjut Arfian, juga berimbas pada inflasi di AS. Data terbaru menunjukkan inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) AS pada Desember 2024 mencapai 2,6% secara tahunan, sementara inflasi inti berada di level 2,8%.
Tekanan inflasi yang tinggi di AS mempersempit peluang bagi Federal Reserve untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Baca Juga: Penundaan Tarif Impor AS Masih akan Mendukung Rupiah di Perdagangan Rabu (5/2)
"Jika inflasi tetap tinggi, The Fed cenderung mempertahankan kebijakan moneter ketat, yang berpotensi meningkatkan imbal hasil obligasi AS (US Treasury Yield) dan menekan arus modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia," lanjutnya.
Sementara itu, inflasi domestik Indonesia pada Januari 2025 justru mencatat rekor terendah dalam 25 tahun terakhir, yaitu 0,76% secara tahunan. Namun, jika melihat inflasi inti yang masih tumbuh sebesar 2,36%, tekanan harga di sektor riil tetap ada.
Deflasi pada komponen harga yang diatur pemerintah, seperti penurunan tarif listrik sebesar 6,41%, menjadi faktor utama yang menekan angka inflasi secara keseluruhan.
Kondisi ini memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menyesuaikan suku bunga guna mendukung pertumbuhan ekonomi, meski harus tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah yang sensitif terhadap kebijakan moneter AS.
Di sektor manufaktur, ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia meningkat dari 51,2 pada Desember 2024 menjadi 51,9 pada Januari 2025, menandakan ekspansi yang lebih kuat.
Baca Juga: Antisipasi Kenaikan Tarif Impor AS, Pelaku Usaha Perkuat Pasar Alternatif
Peningkatan ini didorong oleh meningkatnya permintaan domestik dan asing, serta stabilnya biaya produksi. Dengan sektor manufaktur yang mulai bangkit, ada harapan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat lebih terjaga di tengah tekanan global.
Secara keseluruhan, kebijakan tarif impor AS memicu ketidakpastian di pasar global dan memengaruhi dinamika ekonomi di Indonesia. Tekanan inflasi yang tinggi di AS berpotensi menahan penurunan suku bunga The Fed, yang pada akhirnya dapat mempersempit ruang bagi Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran moneter.
Namun, dengan inflasi domestik yang terkendali dan sektor manufaktur yang menguat, Indonesia masih memiliki peluang untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Pemerintah dan otoritas moneter perlu merespons dinamika global ini dengan kebijakan yang tepat guna memastikan ketahanan ekonomi nasional di tahun 2025.
Selanjutnya: Tak Ada Loket Penjualan di Pelabuhan, di Mana Beli Tiket Ferry Lebaran dan Nyepi?
Menarik Dibaca: Harga Emas Pegadaian Hari Ini 18 Februari 2025: Antam dan UBS Bergerak Fluktuatif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News