kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.354.000   33.000   1,42%
  • USD/IDR 16.665   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.272   -2,63   -0,03%
  • KOMPAS100 1.147   -2,68   -0,23%
  • LQ45 828   0,00   0,00%
  • ISSI 290   -1,26   -0,43%
  • IDX30 434   0,97   0,22%
  • IDXHIDIV20 499   3,67   0,74%
  • IDX80 127   -0,55   -0,43%
  • IDXV30 136   -0,78   -0,57%
  • IDXQ30 138   0,41   0,30%

Harta karun di balik Panama Papers


Rabu, 06 April 2016 / 11:18 WIB
Harta karun di balik Panama Papers


Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika, Muhammad Yazid | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Panama Papers ibarat harta karun bagi pemerintah dan aparat pajak. Sebab, data-data yang terpapar di dalam dokumen rahasia milik perusahaan pengelola investasi asal Panama, Mossack Fonseca, itu mengungkap potensi baru pajak.

Sebanyak 800 pengusaha Indonesia masuk dalam daftar klien Mossack Fonseca. Mereka adalah taipan dan pebisnis Indonesia yang mendirikan perusahaan dengan tujuan tertentu atau special purpose vihicle (SPV) di negara surga pajak (tax heaven).

Beberapa pengusaha yang disebut-sebut dalam Panama Papers antara lain pemilik Lippo Group James Riady, maupun dua pemilik Grup Saratoga,  Sandiaga Uno serta Edwin Soeryadjaya. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Franky Welirang juga tercatat masuk di data ini.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, isi Panama Papers berbeda dengan data yang dikantongi pemerintah. Oleh karena itu, Bambang menyarankan Direktorat Jenderal Pajak menelusuri data Panama Papers. "Kami akan lihat apakah datanya valid, kemudian kami akan cek konsistensinya dengan data kami," ungkapnya, Selasa (5/4).

Saat ini pemerintah mengklaim telah mengantongi data 6.000 warga negara Indonesia yang memiliki rekening di luar negeri. Ribuan rekening itu dicurigai tidak tercatat dalam surat pemberitahuan pajak (SPT) tahunan di Indonesia.

Pemerintah juga mengklaim telah mengantongi sekitar 2.000 SPV milik WNI yang tercatat di sejumlah negara surga pajak. Misalnya di Bahama, Cayman Islands, British Virgin Islands, Guernsey, Hong Kong dan Singapura.

Nah, potensi pajak mereka  itulah yang akan dikejar untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun ini. Maklum, hingga kuartal I-2016, realisasi penerimaan pajak sekitar Rp 199 triliun atau 14,6% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.

Saat dikonfirmasi KONTAN, sejumlah pengusaha yang namanya disebut-sebut dalam Panama Papers membantah anggapan bahwa pendirian SPV di negeri tax heaven sebagai upaya menyembunyikan dan melarikan pajaknya.

Edwin Soeryadjaya, misalnya, menegaskan bahwa perusahaan di luar negeri miliknya sudah tercatat dalam SPT pajak tahunan. "Perusahaan di luar negeri bukan untuk penggelapan pajak, karena perusahaan ada dalam SPT saya," tandas Edwin, dalam pesan singkat, Selasa (5/4).

Sementara Sandiaga Uno menyatakan, pendirian perusahaan di luar negeri miliknya telah memenuhi semua ketentuan. "Tentu harus full compliance dengan hukum dan memenuhi kewajiban termasuk pajak," ujar pria yang masuk kandidat calon Gubernur DKI Jakarta.

Memang, pendirian SPV  di luar negeri adalah legal, termasuk dari segi perpajakan asalkan melaporkan pajaknya di Indonesia. Jika tidak dilaporkan, kuat diduga sang pengusaha ingin menghindari pajak. Modus lain, SPV itu menjadi tempat penampungan dana panas   atau sebagai sarana pencucian uang.

Pengamat pajak dari Universita Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai, Panama Papers masih perlu dikonfirmasi kebenarannya. Untuk mengkonfirmasi data, pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan banyak pihak. Misalnya dengan perbankan, imigrasi, hingga pemerintah di negara surga pajak.

Berbagai upaya mengejar dana offshore

1. Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)

Ini adalah kebijakan unilateral dari pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam rangka menjaring informasi mengenai pergerakkan dana penduduk AS di luar negeri. FATCA mengharuskan pelaporan dari Foreign Financial Institution (FFI) di luar AS ke Pemerintah AS dan memberlakukan non-compliance penalty berupa 30% withholding tax atas dana yang dikeluarkan dari AS bagi FFI yang tidak patuh. Kebijakan FATCA ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah AS dalam mengungkap dan membuka penyalahgunaan pajak yang dilakukan oleh warganya yang menyimpan dananya di luar negeri.

2. Skema Organization for Economic Cooperation & Development (OECD)

Negara-negara yang tergabung dalam OECD sepakat membuat peraturan perjanjian perpajakan yang lebih ketat. Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari praktik penghindaran pajak. Organisasi yang terdiri dari 31 negara anggota  ini sepakat untuk membuat perjanjian bahwa perusahaan yang memiliki bisnis di suatu negara harus membayar pajak di negara tempatnya berbisnis. Langkah tersebut membuat perusahaan multinasional seperti Google, Amazon dan Facebook harus membayar pajak di setiap negara di tempat perusahaan mendapat keuntungan.

3.Panama Papers

Dokumen dari firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca yang bocor menyebutkan banyak nama dan perusahaan yang menikmati fasilitas kawasan tax haven (bebas pajak). Pihak yang menyimpan uangnya di negara surga pajak ini umumnya  mendirikan perusahaan bayangan, tak melulu salah. Namun, fasilitas ini kerap digunakan pihak-pihak yang ingin menghindari pajak atau menyembunyikan uang hasil transaksi keuangan ilegal seperti hasil korupsi dan kriminalitas. Terdapat 2.961 WNI, sekitar 800 orang di antaranya adalah pengusaha. Pemerintah akan memastikan simpanan dana mereka dilaporkan atau disembunyikan dari laporan pajak.

4. Pengejaran Special Purpose Vehicle (SPV)

Pemerintah akan mengejar sekitar 6.000 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyimpan dananya di negara surga pajak atau tax haven melalui pembentukan perusahaan bertujuan khusus alias special purpose vehicle (SPV. Ribuan WNI tersebut tercatat dalam 2.000 SPV. Riset KONTAN menunjukkan, sejumlah SPV saat ini tercatat sebagai salah satu pemegang saham di perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebut saja, Farindo Investment Limited (Ltd), tercatat di Mauritius, sebagai pemilik 47,15% saham di BCA. Farindo merupakan SPV yang terafiliasi dengan Grup Djarum. Dan masih banyak contoh SPV lagi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×