kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gubernur BI nilai globalisasi mulai memudar, era digitalisasi jadi tantangan baru


Kamis, 29 Agustus 2019 / 11:31 WIB
Gubernur BI nilai globalisasi mulai memudar, era digitalisasi jadi tantangan baru
Gubernur BI Perry Warjiyo saat Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  DENPASAR. Volatilitas perekonomian global semakin tinggi, terutama beberapa tahun terakhir. Bank Indonesia (BI) memandang, dinamika dan ketidakpastian ekonomi dunia saat ini merupakan salah satu konsekuensi dari berakhirnya era globalisasi menuju era baru yakni digitalisasi.

Pergeseran ke era digitalisasi yang memengaruhi perekonomian dunia dan Indonesia menjadi salah satu bahasan pokok dalam Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) ke-13, Kamis (29/8).

Baca Juga: Hindari fintech nakal, begini strategi mengelola data pribadi ala Kredivo

Mengusung tema “Maintaining Stability and Strengthening Momentum of Growth Amidst High Uncertainties in Digital Era”, kalangan akademisi, peneliti, pelaku ekonomi dan perumus kebijakan membahas tantangan baru dalam menghadapi kemajuan teknologi dan digitalisasi yang mengubah lanskap perekonomian dunia secara keseluruhan.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, setidaknya ada empat ciri dari memudarnya era globalisasi dan munculnya era digitalisasi yang semakin pesat.

Pertama, semakin banyak negara yang mengandalkan internalnya (domestik) dalam merespons ketegangan perdagangan global.

“Dulu globalisasi diyakini dapat memakmurkan perekonomian dunia, membuka perdagangan antarnegara, dan meningkatkan produktivitas. Tapi saat ini, ketegangan perdagangan global terjadi dan membuat ekonomi dan perdagangan dunia melambat,” tutur Perry dalam konferensi pers BMEB, Kamis (29/8).

Kedua, adanya perubahan pola serta volatilitas arus modal antarnegara yang makin tinggi. Perry mengatakan, perbedaan suku bunga, yield maupun return di suatu negara tidak lagi menjadi penentu arus masuk modal.

Baca Juga: ISEI menyusun rekomendasi kebijakan ekonomi untuk pemerintah

Faktor premi risiko masing-masing negara makin menentukan, terutama pasca kebijakan taper tantrum yang membuat arus modal antarnegara lebih bergejolak.

Ketiga, bank-bank sentral di dunia terutama di negara maju makin tidak bisa mengandalkan kebijakan suku bunga semata. Efektivitas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan dan menjaga stabilitas harga semakin kurang efektif, menurut Perry.

“Ini terlihat dari beberapa negara maju dengan suku bunga 0% namun tetap sulit menjaga stabilitas harga, apalagi mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Baca Juga: Dorong inklusi keuangan, Aktivaku gandeng Bank DKI dan BPD Bali

Oleh karena itu, bank sentral semakin perlu merumuskan bauran kebijakan terutama dari sisi kuantitatif seperti kebijakan uang beredar, nilai tukar, dan kebijakan makroprudensial.

Keempat, digitalisasi di bidang ekonomi dan keuangan semakin marak. Di bidang ekonomi ditandai dengan kemunculan berbagai usaha rintisan (start-up) dan perusahaan e-commerce.

Sementara di bidang keuangan ditandai dengan menjamurnya fintech dengan berbagai layanannya, serta sistem pembayaran melalui uang elektronik.

“Inilah mengapa era digitalisasi perlu direspon tidak hanya oleh perbankan, tetapi juga oleh para pengambil kebijakan termasuk bank sentral,” tandas Perry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×