Reporter: Noverius Laoli | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Bila tak ada aral melintang, pada Rabu (30/4) pekan ini, nasib dari PT Golden Spike Energy Indonesia akan diputus di Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat. Pasalnya PT Global Pacific Energy, salah satu kreditur Golden Spike telah mengajukan permohonan pembatalan perdamaian lantaran Golden Spike dinilai lalai menjalankan kewajibannya membayar utang-utangnya.
Kuasa hukum Global Pacific Energy Yulius Setiarto mengatakan, sejauh ini, pihak Golden Spike belum mengajukan tawaran atau proposal perdamaian yang baru untuk memastikan membayar utang-utangnya.
"Sampai saat ini, belum ada perwakilan Golden Spike yang datang ke kami mengajukan proposal perdamaian yang baru. Karena itu kami yakin Golden Spike otomatis pailit," ujarnya kepada KONTAN, Sabtu (26/4).
Yulius mengatakan, sampai Rabu (30/4) nanti, pihak Golden Spike belum juga mengajukan proposal perdamaian yang baru, maka seharusnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat memailitkan Golden Spike. Menurutnya, tidak ada ruang lagi bagi Golden Spike untuk berkelit dari utang-utangnya karena tidak memiliki bukti telah membayar utang-utang tersebut.
Permohonan ini pembatalan perdamaian terhadap Golden Spike didaftarkan pada 6 Maret 2014 lalu. Global Pacific menuding Golden Spike telah lalai memenuhi kewajibannya dalam melunasi utang sesuai isi perjanjian perdamaian tertanggal 14 Mei 2013. Akibat dari pembatalan perdamaian ini, Golden Spike terancam pailit.
Menurut Yulius, berdasarkan perjanjian perdamaian, Golden Spike mengakui telah Global Pacific sebagai kreditur konkuren dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam perkara No.63/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst yang telah terdaftar di kepaniteraan PN Pada 17 Desember 2012.
Dalam pengakuan itu, Golden Spike mengakui adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dari Global Pacific sebesar US$ 644,099,18 atau setara Rp 6,2 miliar. Dalam perjanjian perdamaian, Golden Spike berjanji bersedia melakukan pembayaran utangnya selama empat bulan, yakni pada 23 Mei 2013; 25 Juni 2013; 24 Juli 2013 dan 21 Agustus 2013. Namun pada kenyataannya, Golden Spike tidak bisa memenuhi kewajibannya.
Yulius bilang, awalnya, Golden Spike melaksanakan dua kali pembayaran utang tersebut. Yakni pada 28 Mei 2013 dan 5 Juni 2913 masing-masing sebesar US$ 50.000. "Meskipun pembayarannya terlambat dan tidak sesuai dengan tata cara perjanjian tapi klien kami tidak mempermasalahnya," ujar Yulius dalam berkas permohonnnya yang diperoleh KONTAN.
Tapi pada pembayaran tahap kedua, Golden Spike tidak lagi melakukan pembayaran. Karena itu, perusahaan pengeboran ini telah lalai melaksanakan kewajibannya memenuhi isi perdamaian yang telah dihomologasi pada 17 Mei 2013.
Karena itu, Global Pacific meminta majelis hakim untuk membatalkan perdamaian sekaligus menyatakan Golden Spike pailit dengan segala konsekuensi hukumnya. Global Pacific juga meminta hakim mengangkat hakim pengawas dan mengangkat Edino Girsang serta Sandra Nangoy sebagai kurator.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum Golden Spike Aldy Dio Bayu mengatakan, telah mengetahui permohonan pembatalan perdamaian itu. Ia mengatakan, sebenarnya homologasi pada 17 Mei 2013 itu tidak disetujui para pihak, karena ada perbedaan tahun pembayaran utang.
"Tapi bedanya, hasil lifting klien kami ditahan oleh Pertamina. Ditahan karena mereka minta dicabut dulu gugatan wanprestasinya," ujarnya. Lifting Golden Spike yang ditahan sejak bulan April 2013 itu, menurut Aldy senilai US$ 5 juta.
Sengketa ini sudah memasuki tahap kesimpulan pada persidangan, Senin (21/4). Menurut Aldy pihak Golden Spike sudah kembali menawarkan perdamaian dengan Global Pacific. Perdamaian itu tengah dibahas. Hasilnya pada Rabu (30/4) mendatang, majelis akan memutuskan nasib Golden Spike.
Bila perdamaian diterima Global Pacific maka perusahaan kontraktor tersebut tidak pailit. "Tapi bila tidak, maka perkara akan lanjut," ujar Aldy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News