kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.874.000   -21.000   -1,11%
  • USD/IDR 16.354   0,00   0,00%
  • IDX 7.176   -23,15   -0,32%
  • KOMPAS100 1.044   -7,03   -0,67%
  • LQ45 815   -3,41   -0,42%
  • ISSI 226   -0,18   -0,08%
  • IDX30 426   -2,13   -0,50%
  • IDXHIDIV20 508   0,07   0,01%
  • IDX80 118   -0,55   -0,47%
  • IDXV30 121   0,13   0,11%
  • IDXQ30 139   -0,23   -0,17%

CELIOS Kritik Metodologi Pengukuran Kemiskinan BPS, Dinilai Usang dan Tidak Relevan


Rabu, 28 Mei 2025 / 18:41 WIB
CELIOS Kritik Metodologi Pengukuran Kemiskinan BPS, Dinilai Usang dan Tidak Relevan
ILUSTRASI. Warga beraktivitas di pemukiman kumuh di bantaran kali Ciliwung, Jakarta, Selasa (08/10/2024). Kondisi saat ini, kemiskinan masih di tingkat 9%. Sementara index kesenjangan (gini ratio) mencapai 0,379%. Tingkat pengangguran di level 4,82%. Pemerintah menargetkan pada tahun 2025, kemiskinan ekstrem bisa mencapai 0%. Dan pengangguran turun ke 4,5%. Pemerintah juga berupaya meningkatkan kualitas SDM dengan target IMM (Indeks Modal Manusia) membaik pada nilai 0,56. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/08/10/2024


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga riset ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti ketidaksesuaian metodologi pengukuran kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. 

Metodologi tersebut, yang telah digunakan hampir lima dekade sejak pertama kali diterapkan, dinilai tidak lagi mampu menggambarkan realitas kesejahteraan masyarakat modern.

Perbedaan mencolok antara data BPS dan Bank Dunia semakin memperkuat kritik ini. BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,5% atau 24 juta jiwa. 

Namun, menurut Bank Dunia, hingga 60,3% penduduk Indonesia, sekitar 172 juta jiwa  tergolong miskin jika menggunakan standar garis kemiskinan global sebesar US$ 6,85 PPP per hari. 

Perbedaan angka yang signifikan ini menimbulkan kebingungan dan mengikis kepercayaan publik terhadap data pemerintah.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menjelaskan bahwa pendekatan BPS masih bertumpu pada garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan pengeluaran rumah tangga. 

“Pendekatan ini sah di era 1970-an, tetapi gagal menangkap tantangan kontemporer seperti beban utang, ketimpangan akses layanan, dan tekanan keuangan kelas menengah,” ujarnya dalam diskusi publik, Rabu (28/5).

Baca Juga: INDEF Sebut Tingkat Kemiskinan di Indonesia Gampang Terguncang Tekanan Global

Ia mencontohkan bahwa rumah tangga yang terlilit pinjaman online atau terpaksa menjual aset demi pendidikan anak seringkali tidak tercatat sebagai miskin karena pengeluaran mereka dianggap tinggi. Bahkan, garis kemiskinan yang digunakan saat ini justru berasal dari kelompok referensi dengan daya beli menurun, menyebabkan ilusi perbaikan kemiskinan padahal kesejahteraan memburuk.

Risiko Kebijakan dan Ketimpangan Data

Kondisi ini berdampak serius pada perumusan kebijakan. Skema bantuan sosial berpotensi salah sasaran dan anggaran perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai bahwa revisi garis kemiskinan semestinya bukan hal tabu. 

“Malaysia melakukan revisi pada 2019 untuk memperbesar cakupan bantuan sosial. Sementara Indonesia masih ragu karena kekhawatiran terhadap lonjakan angka kemiskinan yang bisa membebani APBN, terutama di tengah rendahnya rasio pajak dan meningkatnya utang jatuh tempo tahun ini,” ujar Bhima.

Ia juga menyoroti ketidakefektifan stimulus seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kembali menciptakan kesenjangan antara pekerja formal dan informal. 

Dasar data yang digunakan masih berasal dari BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja informal seperti ojol, pekerja kontrak, dan outsourcing kembali dikecualikan.

Usulan Redefinisi dan Reformasi Data

Untuk mengatasi persoalan ini, CELIOS mengusulkan redefinisi kemiskinan menggunakan pendekatan disposable income, yakni pendapatan yang tersedia setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi. Pendekatan ini dinilai lebih mencerminkan kondisi riil rumah tangga dan memperhitungkan faktor geografis serta beban hidup generasi sandwich.

Sebagai referensi, CELIOS mengacu pada model Uni Eropa yang telah menerapkan konsep “hidup yang layak” sebagai indikator kemiskinan, yang mencakup dimensi kesehatan, pendidikan, pengangguran, hingga kebahagiaan warga.

Baca Juga: BPS Sudah Merujuk Standar Kemiskinan Ekstrem Bank Dunia

CELIOS juga menegaskan bahwa data kemiskinan harus menjadi alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. Tingkat kemiskinan perlu digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan fiskal, seperti program Makan Bergizi Gratis, PKH, atau subsidi pupuk. Jika tidak berdampak pada penurunan kemiskinan, program tersebut harus dievaluasi ulang.

Sebagai langkah krusial, CELIOS mendorong penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) terkait metodologi baru pengukuran kemiskinan. Perpres ini diharapkan menjadi dasar koordinasi lintas lembaga, integrasi data, dan harmonisasi program pengentasan kemiskinan nasional.

Baca Juga: BPS Klaim Perhitungan Garis Kemiskinan Indonesia Cerminkan Kebutuhan Riil Masyarakat

Selanjutnya: Rasio Klaim Tetap Aman, Ini Jurus Ciputra Life Hadapi Tren Kesehatan

Menarik Dibaca: Ajak Anak Belajar Menabung, MSIG Life Bikin Board Game Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×