kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Faisal Basri sebut ada yang salah kaprah di omnibus law, berikut penjelasannya


Senin, 17 Februari 2020 / 08:57 WIB
Faisal Basri sebut ada yang salah kaprah di omnibus law, berikut penjelasannya
ILUSTRASI. Faisal Batubara atau lebih dikenal sebagai Faisal Basri adalah ekonom dan politikus asal Indonesia. Foto/KONTAN/Djumyati Partawidjaja


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Faisal Basri angkat bicara perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus law. Calon belied itu pun kini sudah berada di tangan DPR terhitung Rabu (12/2) lalu.

Menurutnya ada yang salah kaprah perihal payung hukum sapu jagad ini. Begini paparan lengkap Faisal Basri dilansir dari lamannya faisalbasri.com, Senin (17/2):

Rancangan undang-undang omnibus law telah diserahkan pemerintah kepada DPR Rabu lalu (12/1). Sudah banyak isinya telah terkuat ke publik. Substansi rancangan undang-undang tentang perpajakan praktis sama dengan versi yang telah cukup lama beredar luas. Sejauh ini materi perpajakan tidak menimbulkan kontroversi karena tidak langsung menyangkut hajat hidup orang banyak seperti rancangan undang-undang cipta lapangan kerja.

Banyak sekali yang akan dinikmati oleh korporasi demi untuk menggenjot investasi, baik dalam urusan perpajakan maupun ketenagakerjaan. lingkungan, dan urusan dengan pemerintah daerah. Padahal selama ini kinerja investasi tidak jelek-jelek amat, sebagaimana telah dibahas dalam Omnibus Law Jangan Ugal-ugalan.

Sudah lama Presiden Jokowi mewacanakan penurunan tarif pajak PPh Badan. “Kita ini mau bersaing. Bagaimana bisa bersaing? Di sana (Singapura) 17 persen, (tapi) di sini 25 persen. Ya, lari ke sana semua,” kata Jokowi saat sosialisasi amnesti pajak di Hotel Patra Jasa Semarang, Jawa Tengah. Lihat Menantang` Singapura, Ingin Pangkas Pajak Perusahaan.

Ternyata tekad Presdien benar-benar akan segera terwujud. Pada tahun 2023 nanti pajak penghasilan badan (PPh Badan) bagi perusahaan terbuka (go public) diturunkan menjadi 17 persen.

Membandingkan daya tarik Indonesia dengan Singapura hanya menggunakan satu indikator agaknya tidak tepat. Tak ada satu pun kajian yang sangat meyakinkan tentang dampak penurunan tarif pajak terhadap peningkatan investasi asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).

China yang tarif PPh Badannya 25 persen dan India 25,17 persen–jauh lebih tinggi dari Singapura–terus diburu oleh investor asing.

Wajar jika negara atau perekonomian kecil seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Macau, dan Timor-Leste mengenakan tarif pajak badan sangat rendah, karena pasar mereka sangat kecil dan tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berarti.

Bukti tak terbantahkan dan terang-benderang adalah, justru investasi asing yang mengalir paling deras ke Indonesia berasal dari Singapura. Selama satu dasawarsa terakhir, Singapuralah yang paling banyak menanamkan modalnya (PMA) di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, investasi Singapura rerata setahun menyumbang lebih dari seperempat (tepatnya 26,5 persen) dari seluruh investasi asing di Indonesia.

Apa lagi pertimbangan utama Singapura kian getol berinvestasi di Indonesia kalau bukan karena pasar Indonesia yang sedemikian besar. Penduduk Indonesia 48 kali lipat dari penduduk Singapura. Tenaga kerja Indonesia melimpah. Angkatan kerja Indonesia 39 kali lebih banyak dari Singapura. Apatah lagi penduduk Singapura kian menua. Persentase penduduk usia tua (65 tahun ke atas) Singapura dua kali lebih banyak dari Indonesia.

Walaupun mereka tak memiliki lahan yang luas, mereka bisa berkebun sawit di Indonesia. Singapura hanya punya satu bandara. Ekspansi yang dilakukan sebatas menambah terminal baru. Untuk ekspansi jangka panjang, Changi Airport melakukan investasi dalam pembangunan dan pengelolaan bandara di Labuan Bajo dengan skema PPP (public private partnership) untuk jangka waktu 25 tahun. Tidak hanya terbatas dalam bisnis bandara, melainkan juga pengembangan kawasan wisata.

Tanpa merangsek pasar Indonesia, teramat sulit buat startup Singapura menjadi unicorn (nilai perusahaan menembus satu miliar dollar AS) apalagi decacorn (nilai perusahaan menembus 10 miliar dollar AS). Karena itu, kelompok usaha SEA yang memiliki perusahaan startup Garena yang membidangi games dan hiburan serta Shopee yang bergerak di e-commerce gencar ekspansi ke Indonesia sehingga meraih status unicorn. Demikian juga dengan Grab. Pendapatan Grab dari Indonesia niscaya jauh lebih besar dari di negeri asalnya.

Ketiga bank lokal Singapura tak ketinggalan mengembangkan usahanya di Indonesia. DBS Bank of Singapore, bank lokal terbesar di Singapura, sangat berminat untuk mencaplok Bank Danamon, tetapi tidak mendapat restu dari otoritas. Ekspansinya dilakukan dengan mengambil alih unit usaha Bank ANZ di Indonesia. Belakangan DBS tertarik mengambil alih Bank Permata. OCBC Bank telah lebih dulu mengambil alih Bank NISP. Bank lokal kedua terbesar di Singapura ini juga berniat mengakuisisi Bank Permata. Sedangkan UOB mengambil alih Bank Buana.

Bukan kali ini saja Presiden Jokowi mengambil keputusan dengan data yang tidak akurat. Jokowi pernah mengatakan: “Banyak sekali uang milik orang Indonesia di luar (negeri). Ada data di kantong saya, di Kemenkeu di situ dihitung ada Rp 11.000 triliun yang disimpan di luar negeri. Di kantong saya beda lagi datanya, lebih banyak. Karena sumbernya berbeda,” ujar Jokowi. Lihat Jokowi Juga Pernah Bilang Uang WNI Rp 11.000 T Ada di Luar Negeri dan Sebut Harta WNI di Luar Negeri Rp 11.000 T, Jokowi: Daftarnya di Kantong Saya.

Entah dari mana data yang ada di “kantong” Pak Jokowi kala itu. Data McKinsey hanya USD250 miliar atau sekitar Rp3.750 triliun jika menggunakan kurs Rp15.000 per dollar AS. Data perkiraan Kementerian Keuangan hampir sama dengan data Credit Suisse, sekitar Rp11.000 triliun alias Rp11 kuadriliun.

Karena menggunakan data yang tak jelas dari mana, maka target program pengampunan pajak (tax amnesty) tahun 2016/2017 pun dipasang sangat tinggi. Pemerintah menargetkan uang yang diparkir di luar negeri akan masuk sebanyak satu kuadriliun rupiah atau Rp1.000 triliun. Ternyata deklarasi harta bersih repatriasi hanya Rp 147 triliun. Bertolak dari niat awalnya, program pengampunan pajak gagal total.

Program pengampunan pajak juga gagal memperluas basis pajak. Nisbah pajak (tax ratio)–yaitu jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan nilai seluruh aktivitas perekonomian sebagaimana tercermin dalam produk domestik bruto (PDB)–pasca program tax amnesty hanya naik satu tahun (2018). Tahun berikutnya (2019) kembali turun melanjutkan trend penurunan yang sudah berlangsung sejak 2013, bahkan mencapai titik terendah dalam setengah abad terakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×