kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Faisal Basri: Indonesia ibarat posisi bertahan


Selasa, 19 September 2017 / 22:02 WIB
Faisal Basri: Indonesia ibarat posisi bertahan


Reporter: Choirun Nisa | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - Kecenderungan pemerintah kepada investasi dalam negeri atau kepada BUMN dibandingkan swasta dianggap membuat industri dalam negeri susah berkembang. Pasalnya, konten lokal dinilai bukanlah strategi terbaik untuk menang dalam dunia usaha.

"Khawatir pada asing itu boleh, tapi lihat dulu, dengan strategi Indonesia yang lokal terus ini justru bagaimana pertumbuhan industri kita saat ini," ujar Ekonom Faisal Basri dalam Diskusi Terbatas bertemakan "Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi" pada Selasa (19/9) di Jakarta.

Faisal mengumpamakan posisi Indonesia saat ini ibarat permainan bola yang sedang dalam posisi bertahan agar tidak kebobolan gawangnya. Namun, meski begitu Indonesia pun tak jua memasukkan bola ke gawang lawan.

"Juara liga Inggris saja bukan ditentukan dari yang paling sedikit kebobolan, tetapi yang paling banyak menggolkan justru. Yang banyak menggolkan pun juga banyak pula kebobolannya," kata Faisal.

Di sisi lain, begitu pemerintah berambisi mengundang lebih banyak realisasi investasi masuk, tetapi niatan tersebut dilakukan tanpa memberikan jaminan kenyamanan investasi pada investor. Menurut Faisal, akan susah untuk mengundang investor baru jika untuk mempertahankan yang lama saja belum terurus.

Menurut ekonom Universitas Indonesia (UI) ini banyak kebijakan pemerintah yang justru memberatkan industri. Salah satunya dengan memperketat aturan lelang impor gula rafinasi. Padahal, industri makanan minuman yang berkontribusi sebesar 33% terhadap keseluruhan manufaktur Indonesia begitu bergantung terhadap pasokan gula rafinasi.

“Negara mau mengharapkan ayam terus bertelur, tapi ayam itu dibikin stres dengan berbagai aturan macam-macam dari PPH, pajak di muka, dan lainnya. Lama-lama jika tidak tahan, gampang saja bagi Coca Cola, Nestle atau yang lain untuk tinggal memindahkan fasilitas produksinya ke Malaysia karena lebih mudah di sana,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×