Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengampunan Pajak atau tax amnesty dinilai menjadi instrumen efektif terjadinya repatriasi modal dan memperkuat basis pajak baru. Karena itu, tax amnesty harus menjadi pendahuluan sebelum dilakukan penegakan hukum.
Darussalam pengamat pajak dari Universitas Indonesia mengatakan, efektivitas tax amnesty dalam menarik modal (repatriasi) sudah dilakukan di negara-negara lain, seperti oleh Italia, Portugal, Argentina, Yunani, dan Belgia. “Jadi sebagai suatu kebijakan tidak ada yang salah,” kata Darussalam, Minggu (8/5).
Menurutnya, tax amnesty lebih efektif dilakukan dengan cara voluntary (sukarela) ketimbang penegakan hukum. Alasannya, tax amnesty bisa sebagai suatu masa transisi sebelum dilakukannya penegakan hukum yang tegas. "Jadi tax amnesty dulu baru penegakan hukum yang tegas bisa dilakukan," kata dia.
Darussalam memaparkan, pengampunan pajak harus diberikan terlebih dahulu ketimbang penegakan hukum karena jumlah wajib pajak yang tidak patuh sedemikian besarnya. Ketidakpatuhan tersebut disebabkan banyak hal misal karena ketidaktahuan mengenai kewajiban membayar pajak, kurangnya sosialisasi, sistem administrasi pajak yang masih belum sempurna, hukum pajak yang belum sepenuhnya mencerminkan kepastian dan keadilan.
"Nah kalau penegakan hukum yang dikedepankan, maka seberapa efektif yang dapat dilakukan, lantas seberapa cepat penegakan hukum yang akan dilakukan, lantas seberapa valid data yang dimiliki, kan belum ketahuan,” kata dia.
Dengan hanya 22 juta penduduk Indonesia yang memiliki NPWP dan 9 juta yang melaporkan SPT Tahunan, maka jika tidak ada tax amnesty, jutaan rakyat Indonesia terancam tarif pajak hingga 30% dan denda maksimal 48%.
Darussalam menekankan pentingnya tax amnesty sebagai bagian dari reformasi pajak secara keseluruhan bersamaan dengan reformasi atau amandemen UU KUP, PPh, PPN, dan Bea Materai. Nantinya, tarif PPh akan diturunkan di kisaran 17-20% pasca dilakukannya tax amnesty.
Hal yang terpenting dalam UU tax amnesty menurutnya adalah adanya satu pasal tertentu yang mengatur tentang manajemen informasi data. Ia mencontohkan Tax Amnesty Filipina, yang di dalamnya ada suatu pasal yang memungkinkan untuk menggunakan hasil dari uang tebusan dari tax amnesty yang dipergunakan untuk mengelola manajemen data tersebut. “Di Filipina sebesar 400 juta Peso diperuntukkan untuk manajemen informasi tersebut,” katanya.
Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menambahkan, bahwa perkiraan Menteri Keuangan yang menyatakan dana WNI mencapai Rp 11.400 triliun benar adanya. Namun tidak semuanya berbentuk cash, tapi ada juga dalam bentuk lain seperti fixed aset atau saham."Benar dana itu sekitar Rp 11. 400 triliun. Tapi tidak dalam bentuk cash. Kalau dalam bentuk cash paling hanya Rp 5.000 triliun,” kata dia.
Menurutnya, dana-dana yang parkir di luar negeri itu bisa kembali lagi ke Indonesia asal sistemnya kuat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News