Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia (World Bank) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 sebesar 0%. Namun, Bank Dunia juga mengingatkan bahwa Indonesia bisa masuk dalam jurang resesi pada tahun ini.
Skenario resesi ekonomi Indonesia bisa terjadi, jika infeksi Covid-19 meluas atau gelombang infeksi baru muncul (second wave).
Baca Juga: UPDATE corona di Jakarta Kamis 16 Juli, positif 15.636, sembuh 9.855, meninggal 713
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai, memang ancaman resesi itu ada, maka mau tidak mau Indonesia harus siap menghadapi hal tersebut.
"Saya berharap stimulus fiskal segera terealisasi dan terserap dengan baik, sesuai dengan alokasinya untuk mendorong perekonomian sehingga ada perbaikan di triwulan III," ujar Riza kepada Kontan.co.id, Kamis (16/7).
Dikarenakan ekonomi di kuartal II diprediksi akan mencatatkan pertumbuhan negatif yang cukup dalam, maka perbaikan di kuartal III diharapkan dapat terjadi. Harapannya, pertumbuhan positif tersebut dapat membuat Indonesia terhindar dari resesi yang lebih dalam lagi.
Di sisi lain, sektor riil juga perlu mendapat perhatian agar ekonomi bisa terus bergerak. Utamanya, dorongan bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) karena memiliki serapan tenaga kerja yang cukup tinggi.
Baca Juga: Redam dampak corona, asuransi umum beri diskon premi asuransi kendaraan
Terkait dengan pandemi, belakangan ini terlihat data yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa kasus baru yang terinfeksi terus melonjak setiap harinya.
Terlebih, pada bulan Juli 2020 rata-rata kasus meningkat di kisaran 1.500 setiap hari. Riza menilai, apabila kasus ini terus berlangsung maka akan berbahaya bagi kesiapan sumber daya tenaga kesehatan (nakes) yang ada, serta daya tampung rumah sakit (RS) yang tersedia saat ini.
Untuk itu, sosialisasi mengenai protokol kesehatan Covid-19 perlu dilakukan dengan lebih gencar lagi. Di dalam hal ini, maka pemerintah juga perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat agar ada kesadaran bersama untuk melakukan tindakan pencegahan.
Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah telah melebarkan defisit sampai dengan 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk melancarkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Baca Juga: Ekspansi pabrik Saraswanti Anugerah Makmur (SAMF) tidak terdampak pandemi Covid-19
Riza melihat, efektivitas dari pelebaran defisit tersebut akan bergantung pada implementasi belanja yang dilakukan pemerintah. Utamanya, adalah dalam bentuk stimulus ekonomi.
"Sejauh ini, pemerintah nampaknya masih belum menunjukkan pola yang berbeda dari biasanya, kecuali program penanganan Covid-19 yang di dalmnya termasuk bantuan sosial (bansos), kesehatan, PEN dan sebagainya. Itu pun masih banyak kendalanya," kata Riza.
Sebenarnya, keseluruhan program untuk penanganan Covid-19, termasuk PEN, bisa menahan resesi jika implementasinya bisa dilakukan dengan baik. Jadi diharapkan program tersebut bisa membantu pemerintah, baik dari sisi konsumsi maupun produksi.
"Apakah itu membantu tingkat konsumsi, membantu menahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maupun membantu UMKM dan bisnis agar bisa terus berjalan sekaligus mengatasi pandemi," kata Riza.
Baca Juga: Soal sanksi pelanggar protokol kesehatan, pengamat: Pemerintah bergerak lambat
Di sisi lain koordinasi BI, OJK, dan Kemenkeu dalam stabilitas keuangan juga perlu terus dijaga. "Saya rasa upaya pemerintah itu sudah terlihat, tinggal memaksimalkan implementasi di lapangan dan fokus pada penanganan pandemi. Sambil di sisi lain ditekankan implementasi protokol kesehatan di masyarakat agar penyebaran bisa ditekan. Jika pandemi makin lama, maka pemulihan ekonomi juga akan semakin lama," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News