kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: Rencana perluasan objek PPN tak beri dampak masif pada inflasi


Selasa, 29 Juni 2021 / 19:42 WIB
Ekonom: Rencana perluasan objek PPN tak beri dampak masif pada inflasi
ILUSTRASI. pemerintah bakal kerek PPN untuk kebutuhan pokok


Reporter: Bidara Pink | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menambah objek pajak pertambahan nilai (PPN), dengan memperluas ke beberapa objek seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, juga jasa pendidikan. 

Di tengah polemik itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap menjanjikan bahwa pemerintah akan memberikan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan miskin. 

Dengan kata lain, barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dibutuhkan masyarakat miskin akan dikecualikan dari pungutan PPN. 

Namun, untuk keutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan yang tergolong mewah atau dalam kategori mahal, maka pemerintah akan tetap mengenakan PPN. 

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, keputusan pemerintah tersebut tentu akan memberi dampak pada pergerakan harga ke depan. Namun, dampaknya tidak akan terlalu signifikan. 

“Memang ada dampak dorongan terhadap inflasi di tahun depan. Namun, rasanya tidak akan terlalu masif,” ujar Riefky kepada Kontan.co.id, Selasa (29/6). 

Baca Juga: Jika tarif PPN jadi dikerek, begini pengaruhnya terhadap inflasi

Apalagi, Riefky memandang yang akan dikenakan pungutan PPN adalah barang-barang mewah yang bagi masyarakat masuk ke dalam konsumsi tersier atau tidak akan dikonsumsi setiap hari. 

Plus, hingga saat ini Riefky masih belum mengukur sensitivitas konsumsi masyarakat terhadap barang yang nantinya akan dikenakan pungutan PPN tersebut. Apalagi, pola konsumsi masyarakat juga masih akan sangat bergantung pada prospek perbaikan ekonomi.

Sementara untuk perkembangan harga di tahun depan, Riefky memperkirakan akan terjadi inflasi di kisaran 2,5% hingga 3% yoy. 

Namun, ini dengan asumsi kalau pemulihan ekonomi kembali berjalan secara on track, setelah sempat ada kemunduran kondisi akibat meningkatnya Covid-19 di akhir bulan ini. 

Riefky juga melihat belum ada momok risiko terkait melambungnya harga di tahun depan, sehingga otoritas pengendalian inflasi masih belum perlu untuk mengeluarkan usaha ekstra dalam menjaga perkembangan harga. 

“Menjaga inflasi yang terlalu tinggi belum menjadi fokus. Malah justru kita ingin melihat inflasi yang naik karena daya beli sudah mulai naik. Baru, kalau sudah terlalu tinggi, perlu adanya pengetatan kebijakan moneter tetapi kami tidak melihat risiko ini di tahun ini maupun tahun depan,” pungkas dia. 

Selanjutnya: Sri Mulyani bakal cabut insentif PPh final UKM dengan omzet kurang dari Rp 50 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×