Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, narasi pemerintah dalam melakukan penyesuaian harga BBM sama dengan yang terjadi pada 2014 lalu.
Saat itu pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium dan solar. Dimana subsidi yang dipotong dialihkan untuk hal yang lebih produktif. Kemudian narasi kedua saat itu ialah subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu. Narasi tersebut kembali digunakan dalam penyesuaian harga BBM ada 3 September lalu.
"Ini narasi yang diulang-ulang karena kalau 2014 narasinya tetap sama terkait dengan masalah BBM tidak dibeli oleh mereka yang berhak, yang dipertanyakan adalah sejak 2014-2022 ini pemerintah ngapain saja? untuk melakukan pembatasan kok enggak?," ujarnya dalam Rilis Survei Indikator Politik Indonesia, Rabu (7/9).
Jika subsidi BBM selama ini dinilai tepat sasaran seharusnya pemerintah tak lantas mengambil keputusan menaikkan harga, melainkan melakukan pembatasan penggunaan BBM.
Baca Juga: Erick Thohir Beberkan Fakta Harga BBM Indonesia Lebih Tinggi dari Negara Tetangga
Kemudian langkah pemerintah yang tak hanya menaikkan BBM bersubsidi juga tak tepat. Diketahui selain BBM subsidi jenis solar dan pertalite, pemerintah juga melakukan penyesuaian harga ada BBM nonsubsidi jenis pertamax.
Bhima menjelaskan, apabila tujuan kenaikan BBM agar tidak terjadi salah sasaran, dilihat sebagai tindakan yang keliru. Pasalnya selisih harga antara pertalite dan pertamax sangat besar. Maka masyarakat masih akan tetap memilih menggunakan pertalite.
"Yang sebelumnya yang disuruh tidak mengkonsumsi pertalite untuk bergeser ke Pertamax. Kalau selisih harga pertamax dan pertalite cukup lebar sekitar Rp 4.500, maka tetap akan migrasi pertalite," tegasnya.
Bhima juga menyoroti kebocoran solar subsidi yang justru mayoritas digunakan oleh sektor industri. Kebocoran yang dinikmati oleh industri juga belum ditindaklanjuti.
Kemudian soal narasi subsidi BBM yang membebani APBN, Bhima meminta pemerintah membuka rincian yang dimaksud. Ia mengatakan, dari Rp 502 triliun subsidi yang dibebankan pada APBN bukan seluruhnya digunakan untuk BBM bersubsidi.
Baca Juga: Sebelum Harga BBM Naik, Tingkat Kepuasan Kinerja Jokowi Meningkat
"Dalam outlook APBN 2022, yang saya kutip dari nota keuangan RAPBN 2023 subsidi BBM itu hanya Rp 14,6 triliun dan itu dokumen dari Kementerian Keuangan. Jadi Rp 502 triliun campur-campur ada carry over Pertamina, PLN, LPG juga kita tidak banyak bahas mengenai pembatasan LPG 3 kg yang di-blame adalah Rp 14,6 triliun," ungkapnya.
Bhima menyebut empati juga belum bisa ditunjukkan pemerintah. Pasalnya, belum ada penghematan belanja birokrasi dan belanja pegawai di Kementerian/Lembaga. Termasuk juga Pemerintah Daerah yang masih memiliki dana mangkrak di bank yang dapat dialihkan untuk subsidi BBM.
Kemudian pemerintah juga masih meneruskan proyek-proyek yang seharusnya bisa ditunda ketimbang mengorbankan subsidi BBM untuk rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News