kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,12   2,37   0.26%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom Ingatkan Enam Tantangan Ekonomi Bagi Capres 2024


Selasa, 25 April 2023 / 19:24 WIB
Ekonom Ingatkan Enam Tantangan Ekonomi Bagi Capres 2024
ILUSTRASI. Ekonom mengatakan, ke depan terdapat enam tantangan ekonomi bagi capres 2024.TRIBUNNEWS/DPP PDIP


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) 2024 menambah nama-nama yang akan maju di pemilu tahun depan.

Sebelumnya ada Anies Baswedan yang diusung oleh Partai NasDem sebagai Capres 2024, kemudian Prabowo Subianto oleh Gerindra dan Airlangga Hartarto oleh Golkar.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ke depan terdapat enam tantangan ekonomi bagi capres 2024. Pertama ialah soal kemiskinan.

Bhima mengatakan, kemiskinan tercatat masih tinggi secara rata-rata nasional di angka 9,57%. Artinya berdasarkan data 2022 masih ada 26,3 juta orang miskin.

Baca Juga: Ganjar Bacapres, PDIP: Akan Ada Deklarasi Parpol Lain Dukung Ganjar

"Kemiskinan selain karena masih belum meratanya akses pendidikan, kesehatan dan infrastruktur juga dipengaruhi kebijakan perlindungan sosial yang rendah dibanding negara tetangga," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (25/4).

Ia menjelaskan, berdasarkan data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), porsi belanja perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia hanya mencapai 3%, sementara Malaysia 5,5%, Thailand 6,4%, dan Vietnam 7,6%. 

"Bahkan dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 4,4% saja Indonesia tertinggal," kata Bhima.

Kedua, soal ketimpangan yang semakin lebar dilihat dari sisi akumulasi kekayaan. Menurutnya, orang kaya di Indonesia tidak saja menguasai 46% total konsumsi nasional tapi juga secara harta kekayaan tumbuh 61,6% selama pandemi.

"Ini berarti mode pembangunan yang ada saat ini hanya menyuburkan ketimpangan. Semakin lebar ketimpangan risiko stabilitas politik makin rentan," ujarnya.

Ketiga, soal upaya melepas dari ketergantungan sumber daya alam (SDA). Bhima menilai cara pandang bahwa Indonesia kaya akan SDA harus dirubah.

Pasalnya, tahun 2021-2022 memang terjadi bonanza komoditas batubara dan sawit, tapi gejala penurunan harga komoditas sudah mulai terasa. Oleh karenanya, tahun 2024 dikhawatirkan presiden terpilih sudah tidak menikmati boom komoditas ekspor sehingga harus mulai cari strategi lepas dari ketergantungan komoditas.

Keempat, persoalan inflasi masih cenderung tinggi diperkirakan 4-5% pada awal pemilihan capres 2024.

"Inflasi berisiko membuat daya beli masyarakat terpukul, dan membuat pertumbuhan ekonomi terganggu. Capres harus kasih solusi bagaimana inflasi bisa ditekan dibawah 3% pasca pandemi," jelasnya.

Baca Juga: Bursa Capres 2024 Sengit, Kadin Indonesia Bakal Sodorkan Nama-Nama Menteri Kompeten

Kelima, biaya transisi energi perlu jadi bagian program kerja utama capres karena berkaitan dengan kesuksesan ekonomi dan lingkungan. Bhima memperkirakan kebutuhan dana untuk transisi energi mencapai Rp3.500 triliun termasuk pensiun PLTU batubara hingga investasi di EBT. Maka model pembiayaan alternatif perlu dipercepat.

"Keenam, mengurangi beban utang proyek mercusuar era Jokowi. Siapapun presiden yang akan terpilih punya PR penting soal manajemen risiko proyek seperti IKN dan kereta cepat. Dengan beban bunga utang negara diproyeksikan mencapai Rp 485-530 triliun pada 2024 presiden yang baru sah-sah saja misalnya untuk tunda pengerjaan proyek yang terlalu memakan APBN," jelasnya.

Kemudian soal adu kuat Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan dalam sepak terjang di sektor ekonomi, menurutnya, kedua sosok memiliki kesamaan berkutat di masalah ekonomi efek pandemi. Mulai dari naiknya pengangguran, hingga lesunya sektor ritel.

Hanya saja, spesifik di Jawa Tengah Ia menilai memiliki masalah kemiskinan yang paling berat. Hal tersebut lantaran, Jawa Tengah disebut sebagai kantong kemiskinan yang cukup akut dengan 10,9% penduduk dibawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan DKI Jakarta diangka 4,6%. S

DKI Jakarta memiliki 70% perputaran uang terpusat di ibu kota sehingga masalah kemiskinan ada tapi tidak seberat jawa tengah.

"Tapi Jawa Tengah di era Ganjar diuntungkan dengan relokasi pabrik dan investasi manufaktur dari banten dan Jawa Barat. Banyak pabrik bergeser tidak hanya karena upah jawa tengah rendah tapi infrastruktur industri dan logistik di jawa tengah marak dibangun. Jawa tengah punya kontribusi menahan laju deindustrialisasi prematur," kata Bhima.

Meksi demikian, secara teknis masalah perekonomian di Jawa Tengah memang lebih kompleks ketimbang DKI Jakarta. Dimana sebagian daerah di Jawa Tengah juga sulit diakses sementara penduduknya banyak.

Sebagai informasi Anies Baswedan sebelumnya memiliki pengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Ganjar sampai sekarang masih menjabat sebagai Gubernur di Jawa Tengah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×