Reporter: Indra Khairuman | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penguatan nilai rupiah saat ini menunjukkan adanya perbaikan situasi ekonomi domestik dan harapan berakhirnya siklus peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (AS), meski fluktuasi nilai tukar diprediksi terus berlanjut dan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Yusuf Rendy Manilet, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), menjelaskan bahwa penguatan rupiah dan pelemahan dolar ini adalah hasil dari perbaikan persepsi pasar terhadap situasi ekonomi domestik. Ia juga mengatakan bahwa terdapat ekspektasi bahwa siklus kenaikan suku bunga oleh The Fed akan segera berakhir.
“Namun, apakah pelemahan dolar ini akan berlanjut, menurut saya masih cukup spekulatif,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Selasa (27/5).
Baca Juga: Kemenkeu Siapkan Alokasi Anggaran APBN untuk Biayai 6 Paket Stimulus Ekonomi
Ia mengungkapkan bahwa memang terdapat ruang untuk pelemahan dolar, khususnya jika inflasi di AS terus menurun dan ketidakpastian global menurun.
Namun, dalam waktu dekat, Yusuf melihat bahwa cenderung fluktuatif, dengan ruang penguatan rupiah yang cukup terbatas.
Yusuf juga menyoroti dampak dari pelemahan dolar terhadap APBN.
“Pelemahan dolar ini pada dasarnya memberi sedikit kelonggaran terhadap APBN, khususnya dari sisi belanja negara,” kata Yusuf.
Ia menjelaskan juga bahwa berbagai komponen belanja, seperti pembayaran utang luar negeri, subsidi energi berbasis impor, dan pengadaan barang dengan mata uang asing, akan menjadi lebih ringan jika nilai rupiah menguat. Ini tentu akan mengurangi beban pada fiskal.
Baca Juga: Belanja Negara Turun 5,06% YoY, Baru Terserap 22,3% dari Pagu APBN per April 2025
Di sisi lain, Yusuf mengingatkan bahwa rupiah yang terlalu kuat bisa menurunkan pendapatan negara dari sektor ekspor komoditas.
“Kalau dilihat dari sensitivitas nilai tukar, dimana setiap erubahan Rp 100 terhadap USD berdampak pada penerimaan sebesar Rp 4,7 triliun dan belanja Rp 3,4 triliun,” jelasnya.
Dengan nilai tukar rupiah saat ini sekitar Rp 16.646/USD, Yusuf menegaskan bahwa selisih sebesar Rp 1.646 ini menunjukkan potensi tambahan penerimaan sekitar Rp 77,36 triliun dan tambahan belanja sekitar Rp 55,96 triliun.
“Secara neto, masih ada surplus sekitar Rp 21,4 triliun terhadap APBN dari sisi selisih kurs,” tambah Yusuf.
Namun, ia mengingatkan bahwa ini hanya simulasi yang berbasis sensitivitas dan belum memperhitungkan volume transaksi riil ataupun juga variabel lainnya.
Baca Juga: Ekonom: Pelemahan Dolar AS Memberikan Ruang Fiskal bagi APBN
Selanjutnya: Per April 2025, Nilai Transaksi Kartu Kredit Bank Mandiri Tumbuh 23%
Menarik Dibaca: Ini 9 Alasan Warna Swiss Coffee jadi Favorit Desainer Interior pada 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News