Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan mengkaji rencana platform e-commerce di Indonesia seperti Tokopedia, Bukalapak hingga Blibli untuk menjadi pemungut pajak. Pemerintah sendiri telah melakukan uji coba penarikan pajak oleh e-commerce melalui bela pengadaan dan ditemui tidak ada kesulitan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut praktik platform sebagai pemungut pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPN) sebenarnya sudah berjalan dengan baik. Namun, selama ini hanya mencakup transaksi jasa digital dari luar negeri, sebut saja platform Netflix.
Ia mengatakan, pemungut PPN bagi platform e-commerce terutama atas transaksi domestik sangat penting untuk dilakukan, mengingat sebagian besar ekonomi digital Indonesia berasal dari transaksi e-commerce terutama transaksi domestik.
Fajry menilai, sebagian besar e-commerce sendiri sebenarnya sudah menjadi pemungut PPN, dalam hal ini adalah e-commerce dengan model bisnis online retail yakni pemilik barang merupakan pemilik website.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Sejumlah E-Commerce Lokal untuk Jadi Pemungut Pajak
Hanya saja, platform e-commerce dengan binis online marketplace belum menjadi pemungut PPN. Pasalnya e-commerce yang paling besar di Indonesia memang yang model bisnisnya online marketplace.
"Yang belum itu e-commerce dengan model bisnis online marketplace. Inilah mengapa menjadi pekerjaan rumah," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (6/7).
Fajry mengungkapkan, sebelumnya pemerintah juga sudah meregulasi e-commerce sebagai pemungut PPN sebelum Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) lahir. Namun, aturan tersebut dicabut oleh pemerintah pada 1 April 2019. Adapun yang menjadi alasannya adalah masih perlu sosialisasi bagi para stakeholder dan masih perlu persiapan infrastruktur pelaporan.
"Saya rasa alasan tersebut menjadi tidak valid apalagi masyarakat telah mengerti pasca ditetapkannya beberapa platform digital sebagai pemungut PPN atas jasa digital dari luar negeri," katanya.
Untuk itu, Fajry menilai, menjadikan e-commerce sebagai pemungut pajak merupakan hal yang sangat penting. Terlebih lagi melihat barang yang dijual melalui e-commerce sebagian besar merupakan barang konsumen akhir.
Selain itu secara perpapajakan, juga akan menguntungkan jika merchant menghindari pajak dengan terus menjadi non Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menurutnya, jika pihak e-commerce berdalih transaksi akan kabur ke sosial media, solusinya adalah bukan menghambat rencana pemerintah menjadikan mereka pemungut pajak, namun mendorong pemerintah melakukan optimalisasi pemungutan pajak atas transaksi yang dilakukan di sosial media.
"Kalau tidak, status quo terus kita, tidak maju-maju, tidak ada perkembangan'" kata Fajry.
Di sisi lain Fajry menambahkan, tren platform sebagai pemungut PPN memang meningkat. Dalam “The fifth Global Forum on VAT meeting” di Melbourne lebih dari 100 yurisdiksi, termasuk organisasi internasional, mendukung OECD-report (The Role of Digital Platform in The Collection of VAT/GST on Online Sales) yang merekomendasikan otoritas pajak untuk bergantung pada platform untuk mengatasi kebocoran pada pemungutan PPN.
"Memang, yang lalu platform hanya memungut pajak atas transaksi jasa digital luar negeri saja namun trennya kini meluas tak hanya hanya jasa digital luar negeri tapi juga transaksi domestik seperti e-commerce. Terakhir, pasca pandemi ini inggris merencanakan hal tersebut," tambah Fajry.
Baca Juga: Marketplace Akan Jadi Pemungut Pajak, DJP: Tunggu Waktu yang Tepat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News