kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.430.000   -10.000   -0,69%
  • USD/IDR 15.239   100,00   0,65%
  • IDX 7.892   63,27   0,81%
  • KOMPAS100 1.206   10,13   0,85%
  • LQ45 979   8,98   0,93%
  • ISSI 229   0,84   0,37%
  • IDX30 499   4,39   0,89%
  • IDXHIDIV20 602   5,24   0,88%
  • IDX80 137   1,09   0,80%
  • IDXV30 140   0,40   0,28%
  • IDXQ30 167   1,34   0,81%

DPR "Anulir" Putusan MK, Bola Panas Ada di KPU, Membangkang atau Jaga Konstitusi?


Rabu, 21 Agustus 2024 / 18:12 WIB
DPR
ILUSTRASI. Plt Ketua KPU Mochammad Afifuddin melambaikan tangan saat akan memberikan paparan Uji Publik Rancangan Peraturan KPU di gedung KPU Pusat, Jakarta, Jumat (12/7/2024).Bola panas pengaturan Pilkada 2024 kini ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator teknis.


Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bola panas pengaturan Pilkada 2024 kini ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator teknis yang akan memproses seluruh pencalonan kepala daerah. 

Pasalnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah "menganulir" putusan penting MK terkait UU Pilkada pada hari ini, meskipun secara teori putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. 

Kini tinggal KPU memilih, mengikuti putusan MK sebagaimana mereka lakukan saat memproses pendaftaran Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024, atau manut DPR. 

Baca Juga: Berlandaskan Putusan MK, Megawati Akan Umumkan 169 Calon Kepala Daerah 2024 Besok

"KPU bagaimana? Ikut putusan MK atau revisi undang-undang? Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi," ujar pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024). 

Pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen dengan tidak mengikuti akal-akalan Senayan. 

Berfungsi sebagai lembaga pelaksana undang-undang bukan berarti KPU harus membebek pada DPR, terlebih secara hirarkis putusan MK lebih tinggi sifatnya karena menguji undang-undang terhadap UUD 1945. 

"Betul dia harus mengikuti undang-undang dan mengikuti undang-undang juga berarti mengikuti putusan MK," kata Bivitri. 

Baca Juga: Akali Putusan MK, Baleg Ubah Threshold Pilkada Hanya Bagi Parpol Tanpa Kursi DPRD

"Kalau perppu atau undang-undangnya itu melanggar putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK)," jelas dia. 

Ia memberi contoh lain, pada 2018, KPU sempat diperhadapkan pada "ketidakpastian hukum" terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melibatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta. 

Saat itu, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai Mahkamah Agung (MA) yang menguntungkan Oesman, sedangkan MK telah lebih dulu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh rangkap jabatan di partai politik sehingga Oesman harus mundur. 

KPU pada akhirnya bertindak tepat dengan tetap bersikukuh pada putusan MK dan mencoret Oesman dari daftar calon anggota DPD yang akan berlaga di Pileg 2019. Bivitri mengingkatkan, jika KPU membangkang putusan MK, legitimasi calon yang berlaga di pilkada juga akan rentan digugat sengketa. 

Pada akhirnya, MK sebagai lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, juga dapat membuat calon hasil pembangkangan konstitusi itu tidak sah. 

"Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK," tegas Bivitri. 

Istilah pembangkangan konstitusi juga keluar dari mulut MK merespons sengkarut hukum pencalonan Oesman Sapta ketika itu. 

Baca Juga: Respons Putusan MK, KPU Akan Revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah

Dalam putusan nomor 98/PUU-XVI/2018, majelis hakim konstitusi ketika itu menegaskan bahwa sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal. 

Pengabaian itu dapat berarti penggunaan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, padahal oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. 

"Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi," tulis putusan tersebut.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "DPR "Anulir" MK, Bola Panas di KPU, Pakar: Kita Lihat, Membangkang atau Jaga Konstitusi", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/08/21/16002441/dpr-anulir-mk-bola-panas-di-kpu-pakar-kita-lihat-membangkang-atau-jaga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×