kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.707.000   2.000   0,12%
  • USD/IDR 16.380   -90,00   -0,55%
  • IDX 6.587   -162,51   -2,41%
  • KOMPAS100 967   -29,75   -2,98%
  • LQ45 748   -22,23   -2,89%
  • ISSI 205   -6,09   -2,88%
  • IDX30 388   -11,53   -2,89%
  • IDXHIDIV20 468   -13,99   -2,90%
  • IDX80 109   -3,42   -3,04%
  • IDXV30 115   -3,45   -2,91%
  • IDXQ30 127   -4,24   -3,22%

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8% Tidak Cukup Hanya Lewat Realokasi Anggaran


Selasa, 25 Februari 2025 / 16:17 WIB
Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8% Tidak Cukup Hanya Lewat Realokasi Anggaran
ILUSTRASI. Langkah pemerintah merealokasi anggaran ke program-program prioritas dinilai tak mampu menjadi modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Langkah pemerintah merealokasi anggaran ke program-program prioritas dinilai tak mampu menjadi modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 8% dalam lima tahun ke depan.

Adapun pemerintah telah melakukan efisiensi anggaran Rp 308 triliun dari Kementerian/Lembaga (K/L) dan transfer ke daerah (TKD). Dana tersebut akan dikembalikan ke 17 K/L Rp 58 triliun, dan Rp 250 triliun belum dijelaskan secara rinci peruntukannya.

Peneliti Departemen Ekonomi  Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menilai, dampak dari refocusing anggaran bagi perekonomian ini cenderung minim, atau bahkan tidak ada stimulus baru. Menurutnya, anggaran hanya digeser dari pos satu ke pos lain.

“Nah sehingga kita bertanya-tanya pertumbuhan 8% ini cukup nggak sih dengan shifting ini? bisa nambah 2 atau sampai 3 persentase poin. Rasanya ini di luar nalar,” tutur Riandy dalam agenda, Danantara: Harapan Baru atau Potensi Masalah Baru?, Selasa (25/2).

Baca Juga: Ini Kunci Agar Ekonomi Tumbuh di Atas 5% Menurut Ekonom BCA

Bahkan, Riandy melihat, saat ini pemerintah tidak transparan terkait penggunaan dana dari realokasi anggaran tersebut. Sebenarnya pemerintah sempat menyampaikan, Prabowo akan mengalihkan alias merealokasi anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sisanya untuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Riandy menghitung, dengan adanya realokasi anggaran ini, tidak menjamin akan menciptakan multiplier effect yang lebih tinggi. Misalnya saja, ketika sebagian akan dialokasikan pada program MBG, memang dinilai bisa mendorong jasa catering dan sektor pertanian seperti yang diklaim pemerintah.

“Tapi satu sisi perjalanan dinas yang di cut ini akan melemahkan sektor pariwisata juga. Sudah dihitung belum net-nya? Kan tidak ada. Apalagi sektor pariwisata ini labor intensif gitu. Katanya kita ingin menciptakan pekerjaan-pekerjaan berkualitas, ini juga problematik,” ungkapnya.

Riandy juga menyampaikan, ketika realokasi anggaran akan digunakan BPI Danantara untuk berinvestasi di dalam negeri, seperti di proyek food estate dan hilirisasi, maka dinilai bisa ‘mengusir’ investasi swasta yang seharusnya mengisi proyek tersebut.

“Agak susah dimasukkan nalar bahwa dengan kondisi seperti ini growth (ekonomi bisa lebih kencang, bahkan tambah 2-3 percentage point karena ada crowding out,” jelasnya,

Selain itu, apabila BPI Danantara berinvestasi di luar negeri, maka uang tidak akan berputar di dalam negeri. Sehingga, kejelasan-kejelasan seperti ini, kata Riandy, harus dijawab secara terbuka oleh pemerintah.

“Jangan kemudian disajikan oleh rasa-rasa herois (kepahlawanan) bahwa ini yang penting, ini yang bener, tapi datanya belum ada,” terangnya.

Lebih lanjut, Riandy membeberkan memang program MBG baik untuk mendorong sosial dan pendidikan, tetapi belum tentu efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka dekat.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Bisa Terhambat Jika Alokasi Efisiensi Anggaran Tak Tepat Sasaran

Menurutnya, untuk meningkatkan pertumbuhan  ekonomi pemerintah perlu melihat lebih dari sekedar anggaran dan program yang digerakkan oleh negara. Tapi lebih untuk mengembangkan pembangunan sektor swasta itu sendiri.

Misalnya mendorong swasta untuk mencari sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi seperti green industri, atau teknologi rendah karbon.

“Bukan hanya mengandalkan APBN, ya tidak juga lebih banyak lagi, cuma shift. Apalagi kita terlalu mengandalkan inisiatif yang didorong oleh negara yang juga belum tentu memberikan dampaknya,” kata Riandy. 

Selanjutnya: Bitcoin Longsor di Kisaran US$89.000, Dua Faktor Ini Menjadi Penyebabnya

Menarik Dibaca: Brokoli Aman untuk Asam Urat? Yuk Simak Ulasannya di sini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×