Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan tanggapan terkait keluhan yang disampaikan 5.496 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Adapun keluhan yang dimaksud berkaitan dengan keberatannya IDAI terhadap kebijakan perpajakan yang diterapkan kepada dokter yang berpraktik di rumah sakit.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (DJP) Kemenkeu Dwi Astuti menjelaskan, pengenaan tarif atas penghasilan bruto berlaku apabila dokter memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) dalam menghitung pajak penghasilannya.
“NPPN untuk dokter adalah 50%. Angka 50% ini dianggap sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan dokter untuk memperoleh penghasilannya,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Rabu (26/3).
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa bagi dokter yang berpenghasilan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, bagi hasil dengan rumah sakit dapat dikurangkan sebagai biaya.
Baca Juga: Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Tolak Rangkap Jabatan Dirjen Pajak di BTN
Biaya ini termasuk biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dokter.
Diberitakan KONTAN sebelumnya, dalam surat yang dikirimkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 17 Maret 2025 lalu, IDAI menyampaikan keberatan atas ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, yang mengenakan pajak penghasilan dokter berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.
"Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN," tulis IDAI dalam surat yang ditujukan kepada Menkeu.
IDAI menyoroti beberapa permasalahan utama dari kebijakan pemotongan pajak tersebut.
Pertama, pajak dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan riil yang diterima dokter. Dalam praktiknya, dokter hanya menerima bagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan rumah sakit, namun pajak tetap dihitung dari penghasilan bruto yang dibayarkan pasien.
"Ini berarti dokter membayar pajak atas uang yang tidak mereka terima," sebut IDAI.
Kedua, efek progresif yang berlebihan bagi dokter. Pemotongan pajak yang didasarkan pada penghasilan bruto menyebabkan dokter yang mendapatkan honorarium dari berbagai sumber (termasuk dari seminar, pelatihan, atau jasa konsultasi lainnya) terkena pajak progresif lebih tinggi.
Ini berpotensi membuat dokter harus membayar pajak tambahan 5% hingga 30% dari pendapatan riil yang mereka terima, yang pada akhirnya semakin memberatkan.
Baca Juga: Ditjen Pajak Minta WP Tak Khawatir Soal Perpanjangan Waktu PPh Final UMKM 0,5%
Ketiga, mayoritas dokter yang terdampak adalah dokter yang melayani pasien JKN. Sebagian besar dokter anak dirumah sakit melayani pasien JKN yang menggunakan tarif standar yang ditetapkan pemerintah.
Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, bukan netto yang diterima, maka beban pajak yang tinggi ini bisa menurunkan minat dokter untuk terus melayani pasien JKN.
Pajak ini menyerupai pajak perusahaan, bukan pajak perorangan. Dalam sistem perpajakan, perusahaan membayar pajak dari laba bersih setelah dikurangi biaya operasional.
Namun, dalam kebijakan ini, dokter dikenakan pajak seolah-olah mereka adalah perusahaan, karena pajak dikenakan atas omset (penghasilan bruto), bukan laba bersih.
Selanjutnya: Dexa Medica Dorong Bisnis Layanan Kesehatan di Kamboja
Menarik Dibaca: Mudik Pakai Motor? Ini 9 Komponen Motor yang Wajib Diperiksa Sebelum Mudik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News