Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sebanyak 5.496 dokter spesialis anak di seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan keberatannya terkait kebijakan perpajakan yang diterapkan terhadap dokter yang berpraktik di rumah sakit.
Dalam surat yang dikirimkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 17 Maret 2025 lalu, IDAI menyampaikan keberatan atas ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, yang mengenakan pajak penghasilan dokter berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.
"Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN," tulis IDAI dalam surat yang ditujukan kepada Menkeu, dikutip Rabu (19/3).
Baca Juga: Target Kepatuhan Wajib Pajak di 2025 Turun, Imbas Banyak PHK dan Penutupan Usaha?
IDAI menyoroti beberapa permasalahan utama dari kebijakan pemotongan pajak tersebut.
Pertama, pajak dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan riil yang diterima dokter. Dalam praktiknya, dokter hanya menerima bagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan rumah sakit, namun pajak tetap dihitung dari penghasilan bruto yang dibayarkan pasien.
"Ini berarti dokter membayar pajak atas uang yang tidak mereka terima," sebut IDAI.
Kedua, efek progresif yang berlebihan bagi dokter. Pemotongan pajak yang didasarkan pada penghasilan bruto menyebabkan dokter yang mendapatkan honorarium dari berbagai sumber (termasuk dari seminar, pelatihan, atau jasa konsultasi lainnya) terkena pajak progresif lebih tinggi.
Ini berpotensi membuat dokter harus membayar pajak tambahan 5% hingga 30% dari pendapatan riil yang mereka terima, yang pada akhirnya semakin memberatkan.
Ketiga, mayoritas dokter yang terdampak adalah dokter yang melayani pasien JKN. Sebagian besar dokter anak dirumah sakit melayani pasien JKN yang menggunakan tarif standar yang ditetapkan pemerintah.
Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, bukan netto yang diterima, maka beban pajak yang tinggi ini bisa menurunkan minat dokter untuk terus melayani pasien JKN.
Pajak ini menyerupai pajak perusahaan, bukan pajak perorangan. Dalam sistem perpajakan, perusahaan membayar pajak dari laba bersih setelah dikurangi biaya operasional.
Namun, dalam kebijakan ini, dokter dikenakan pajak seolah-olah mereka adalah perusahaan, karena pajak dikenakan atas omset (penghasilan bruto), bukan laba bersih.
Baca Juga: Sri Mulyani Akui Lonjakan Restitusi Pajak Bikin Setoran Pajak Melempem di Awal Tahun
Sebagai bentuk protes atas kebijakan tersebut, IDAI mengusulkan penundaan pelaporan pajak tahun 2024 bagi dokter spesialis anak hingga adanya diskusi dan keputusan yang lebih adil dari Kementerian Keuangan.
"Kami mengajak Kementerian Keuangan untuk berdialog bersama perwakilan IDAI agar kebijakan ini dapat dikaji ulang dengan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi dokter yang melayani masyarakat, khususnya pasien JKN," tulis IDAI.
Selanjutnya: Barenbliss Rayakan Ramadan Lewat Program Blissful Moments
Menarik Dibaca: Barenbliss Rayakan Ramadan Lewat Program Blissful Moments
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News