CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

DJP ingin penghitungan pajak final basis Pembukuan


Senin, 17 April 2017 / 07:06 WIB
DJP ingin penghitungan pajak final basis Pembukuan


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

BELITUNG. Guna memudahkan penghitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  Kementerian Keuangan ingin mengajukan perubahan aturan bagi beberapa sektor yang saat ini dikenakan PPh final seperti properti dan konstruksi

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menilai bahwa basis penghitungan pajak bagi sektor-sektor yang dikenakan PPh final ini lebih baik menggunakan basis pembukuan.

“Kontraktor, real estate, meskipun menggunakan pembukuan tetapi kena PPh Final 2,5% itu salah, makanya harus kita ubah. Properti kan bagus, tapi pajaknya gak pernah bagus,” katanya di Belitung, Minggu (16/4).

Ia bilang, bila penghitungan dilakukan dengan PPh Final, kontraktor yang rugi tetap dikenakan pajak. Di sisi lain, kontraktor yang besar akan diuntungkan karena meskipun labanya besar, mereka hanya dikenakan tarif yang kecil yaitu 2,5%/

“Kalau kontraktor itu rugi, kena pajak gak? Kena tetap 2,5%. Tapi kalau dia ada pembukuan, nggak. Makanya ini kita mau pikir lagi gimana kalau konstruksi itu pakai pembukuan, gak usah final,” ucapnya.

Ia juga meminta kepada seluruh masyarakat dari berbagai profesi, untuk membuat pembukuan terkait keuangannya. Pasalnya, ada beberapa masyarakat yang merasa bahwa setelah amnesti pajak malah takut.

Ken mengatakan, yang perlu takut kena tarif besar dalam hal ini adalah WP yang tidak punya pembukuan keuangan. Jika masyarakat tidak melakukan pembukuan maka akan dikenakan pajak final berdasarkan formula yang telah dirumuskan otoritas pajak dan diatur dalam Perdirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2015.

“Kalau tidak punya data (pembukuan), UU pajak memberi kami wewenang untuk menghitung. Menghitungnya pakai rumus. ” kata Ken.

Rumusnya yakni menggunakan Norma Penghasilan, yaitu tarif norma dikali penghasilan. Kemudian hasilnya dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Lalu dikalikan dengan tarif pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh).

Tarif dari masing-masing profesi sendiri sudah diatur apabila tidak memberi pembukuan. “Misalnya artis. Artis kena tarif 50% kalau tidak punya pembukuan. 50% itu dikalikan penghasilan yang katakanlah Rp 1 miliar, berarti Rp 500 juta. Lalu dikurangi PTKP 4,5 juta. Kemudian dikali (tarif) pasal 17,” jelasnya.

Sementara, jika mereka melakukan pembukuan, Ken bilang bisa jadi pajak yang disetorkan lebih kecil karena penghasilan sudah dikurangi dengan biaya. Biaya yang dimaksud misalnya untuk profesi artis, pengeluaran untuk membeli alat make up atau baju pendukung untuk saat tampil atau sepatu dan lain sebagainya.

"Kalau pakai pembukuan otomatis lebih kecil karena sudah dikurangi biaya. Kalau gak ya penghasilan saja, besar dong,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×