kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pajak penghambat usaha siap dipangkas


Kamis, 13 April 2017 / 11:54 WIB
Pajak penghambat usaha siap dipangkas


Reporter: Adinda Ade Mustami, Elisabeth Adventa, Ghina Ghaliya Quddus, Ramadhani Prihatini, Teodosius Domina | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan menghapuskan sejumlah aturan terkait perpajakan yang dinilai menimbulkan kerumitan sehingga menurunkan tingkat kepatuhan dalam membayar pajak. Kini, Kemkeu tengah menyaring usulan daftar aturan yang selama ini membebani dunia usaha.

Menteri Keuangan Sri Mulyani akan melihat lebih dulu apa saja peraturan yang membebani dunia usaha dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai dan Ditjen Pajak. "Misalnya peraturan perpajakan mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT)  dan treatment atas barang yang sudah masuk Indonesia tapi belum masuk dalam wilayah Indonesia," ujarnya, Rabu (12/4).

Menkeu meminta Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak memberikan suatu kepastian kepada dunia usaha, karena hal itu adalah salah satu tema reformasi perpajakan. "DJP dan DJBC tidak boleh ada perbedaan menyikapi pelaku usaha, tidak boleh menciptakan confusion atau kebingungan maupun beban ke dunia usaha," katanya.

Sri Mulyani  menyatakan sudah mendengar paparan dari beberapa pihak, dan selanjutnya menjadi pertimbangan untuk menghapus sejumlah aturan yang ada saat ini. Paparan yang didapatnya terutama terkait simplifikasi, clarity atau kejelasan, dan perubahan kebijakan perpajakan.

Atas beragam usulan itu, dia meminta tim reformasi perpajakan membuat laporan lebih lanjut. "DJBC dan DJP harus melapor kepada saya apa saja yang harus diperbaiki," katanya.

Rencana ini disambut baik oleh dunia usaha. Apalagi menurut mereka, ada banyak masalah perpajakan yang perlu dibenahi sehingga kondusif bagi dunia usaha. Mulai di industri ritel, manufaktur, properti, dan konstruksi. "Masih banyak aturan pajak penghambat industri yang seharusnya dihapuskan," kata Zali Yahya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), kepada KONTAN.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, untuk mempererat integrasi antara Ditjen Bea Cukai dan Pajak, kedua pihak tengah melakukan pertukaran pejabat. "Supaya integrasi dan harmonisasi bisa lebih kuat. Baik sisi kebijakan maupun operasional," katanya.

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, dalam konteks BUT, bisa jadi yang perlu diperjelas adalah terkait dengan program Pusat Logistik Berikat (PLB) yang kemudian dimaknai sebagai BUT. "Karena salah satu hal yang menjadikan BUT adalah gudang, sesuai pasal 2 UU PPh," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat pengecualian.  Sebab, jika menjadi BUT artinya sama saja tidak mendapatkan insentif.

Sedangkan treatment terhadap barang yang sudah masuk wilayah pabean tapi belum beredar di dalam wilayah Indonesia, Yustinus menyatakan,  bisa jadi adalah terkait kebijakan untuk memperbolehkan impor dahulu. Oleh karena itu, pajak dan bea dikenakan ketika benar-benar terjual.

Darussalam, Managing Partner Danny Darussaman Tax Center menilai, aturan perpajakan yang efektif dan memberikan kepastian akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Implementasinya di lapangan juga tidak menimbulkan multitafsir antara WP dengan otoritas pajak. "Masalah kepastian restitusi misalnya," katanya.

Inilah Usulan pembenahan pajak dari pengusaha:

Ade Sudrajat Usman
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)

PPN berjenjang memberatkan usaha pertekstilan Indonesia. Industri pertekstilan harusnya tidak dikenakan Value Added Tax (VAT), tapi di hilirnya saja yang dikenakan Goods and Services Tax (GST). Dengan kata lain pajak dikenakan langsung ke pengecer seperti negara lain.

Orang pajak itu ingin duduk manis tidak kerja keras dapat uang banyak. Jangan hanya industri hulu yang dibebankan dan diberikan banyak ancaman pidana, namun  pegawai pajak juga harus memungut dengan rajin di industri hilir. Kalau orang pajak ini tidak mau kerja keras membenahi yang di ritel, Indonesia tidak akan beres juga sampai dengan lebaran kuda”.

Zali Yahya
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)

Masih banyak aturan pajak yang menghambat industri di Indonesia yang seharusnya dihapus dan kembali ditinjau. Untuk sektor kontruksi harusnya Pajak Penghasilan Final (PPh final) tidak diberlakukan ganda untuk kontraktor yang menggunakan vendor khusus.

Kontraktor yang menggunakan vendor khusus (vendor specialist) harus membayar dua kali karena aturan tersebut. Padahal, perusahaan kontruksi sudah membayar PPh final sebesar 3%. Cukup satu kali saja dikenakan PPh finalnya,  jangan sampai dua lapis”.

Tutum Rahanta
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo)

- Perlu adanya menyederhanakan pemungutan PPN agar semua pelaku usaha, baik skala kecil maupun besar ada kemudahan dalam menjalankan bisnisnya,

Selama ini PPN membuat harga bahan konsumsi cenderung tinggi di tingkat konsumen. Harapannya agar pajaknya ringkas. Jadi waktu sampai ke konsumen sudah final, tidak perlu ditambah pajak lagi”.

Theresia Rustadi
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD)

- Secara garis besar pajak yang memberatkan bisnis properti adalah PPnBM dan PPh 22, sehingga apabila pajak ini dihapuskan akan membantu mendorong pertumbuhan industri properti. Sebab, khusus apartemen kelas menengah ke atas, dengan harga jual properti di atas Rp 10 miliar, pajak yang harus dibayarkan senilai 45% dari harga jual. PPnBM dan PPh memiliki porsi sekitar 25% dari total pajak tersebut.

Jika pajaknya terlalu besar, orang-orang yang punya uang akan takut untuk membeli apartemen. Mereka akan lebih memilih beli tanah atau rumah”.

Sammy Hamzah
Direktur Indonesia Petroleum Association 

- Pemerintah mesti berpikir jangka panjang, kalau hanya mengharap penerimaan pajak bertambah itu pemikiran jangka pendek. Buatlah kebijakan yang membuat pengusaha leluasa mengembangkan bisnisnya. Kalau bisnisnya makin besar, otomatis pajak yang dibayarkan akan makin besar.

Misalnya soal Migas, revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010. PP yang mengatur tentang biaya pengembalian usaha saja belum beres. Padahal ini juga berkaitan dengan pajak. Kami harap hal seperti ini dicermati”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×