Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini makin memaksimalkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi ketidaksesuaian data perpajakan dengan aktivitas di media sosial.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, pengawasan media sosial bukan hal baru, namun kini dilakukan dengan pendekatan yang lebih canggih melalui pemanfaatan machine learning.
"Kalau sosmed itu kan memang informasi juga, informasi untuk melihat diskrepansi, misalnya siapa tahu ada aset yang belum dilaporkan, yang beda sama SPT, beda sama LHKPN gitu," ujar Bimo kepada awak media di Jakarta, Senin (14/7).
Baca Juga: Pamer Gaya Hidup di Medsos? Siap-Siap Dipantau Ditjen Pajak
Menurutnya, DJP telah sejak lama memantau media sosial sebagai sumber informasi pelengkap, namun sekarang AI memungkinkan analisis dilakukan lebih mendalam dan efisien.
Dengan melatih model AI berbasis data historis Surat Pemberitahuan (SPT) selama 5–10 tahun terakhir, DJP dapat mengenali pola-pola yang tidak biasa atau menyimpang (irregularities) yang bisa mengindikasikan potensi pelanggaran pajak.
"Kalau sekarang kan AI itu kan udah sangat bisa kita train untuk bisa melihat irregularities," katanya.
"Jadi ya generally prinsipalnya seperti mesin learning ya. Dari pattern data yang ada, SPT yang disampaikan 5-10 tahun terakhir, kita lihat patternnya seperti apa, kita lihat di sosmed activity-nya seperti apa, kalau orang pribadi gitu," imbuhnya.
Hanya saja, saat ditanya soal proyeksi potensi penerimaan pajak dari pendekatan ini, Bimo menyatakan bahwa hal itu masih akan dikaji lebih lanjut.
"Belum bisa kita sampaikan dulu, nanti akan dikaji lebih lanjut," tegas Bimo.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai langkah DJP ini relevan, mengingat aktivitas ekonomi kini makin bergeser ke ranah digital, termasuk media sosial.
"Memang kini banyak aktivitas ekonomi yang beralih ke digital, salah satunya media sosial," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (17/7).
Ia menjelaskan bahwa jika dulu promosi produk hanya terbatas pada media konvensional seperti televisi, koran, atau radio yang dilakukan oleh entitas korporasi, kini promosi bisa dilakukan siapa saja lewat media sosial.
Baca Juga: Ditjen Pajak Resmi Menunjuk Marketplace Lokal Jadi Pemungut PPh Pasal 22
Salah satu skema terbaru yang marak dalam satu hingga dua tahun terakhir adalah penggunaan affiliator, yakni individu yang mempromosikan produk dan mendapat komisi dari penjualan.
Menurutnya, promosi lewat media konvensional relatif mudah diawasi karena dilakukan oleh korporasi yang jelas terdaftar. Namun, skema baru seperti influencer atau affiliator lebih sulit diawasi karena melibatkan orang pribadi.
"Untuk itu, pemerintah perlu cari cara baru untuk melakukan pengawasan," katanya.
Tak hanya terkait promosi, menurutnya, praktik jual beli melalui media sosial potensi penerimaannya juga perlu digali oleh pemerintah.Fajry menekankan bahwa penggunaan teknologi menjadi kebutuhan mutlak agar pengawasan ekonomi digital bisa dilakukan secara adil dan efisien.
Meski mendukung penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan untuk menggali potensi tersebut, Fajry menegaskan pentingnya kualitas data sebagai landasan pengawasan.
Fajry mengingatkan bahwa penggunaan data yang tidak akurat justru bisa menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak dan menciptakan inefisiensi bagi fiskus.
"Yang perlu ditekankan, bahwa data dari pihak ketiga itu penting namun data tersebut perlu reliable, benar-benar dapat diandalkan untuk menggali penerimaan pajak," pungkasnya.
Selanjutnya: Batasi Anak Akses Medsos, Meta Terapkan Verifikasi Usia Pakai Video Selfie
Menarik Dibaca: Bukan Menggantikan Koki, Robot Ini Justru Jadi Asisten di Dapur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News