kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,86   -7,49   -0.80%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ditargetkan berlaku 2020, ERP masih tunggu rumusan skema pendukung


Kamis, 21 November 2019 / 09:26 WIB
Ditargetkan berlaku 2020, ERP masih tunggu rumusan skema pendukung
ILUSTRASI. Kendaraan melintas di bawah papan informasi Electronic Road Pricing (ERP)


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menargetkan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) akan diimplementasikan pada 2020. Namun, kebijakan ini masih menunggu pembahasan berbagai skema pendukung.

“Skema-skema pendukung yang dibahas di antaranya meliputi skema hukum, skema kelembagaan, skema pembiayaan maupun skema teknik,” ujar Kepala BPTJ Bambang Prihartono dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (20/11) malam.

Pembahasan skema pendukung tersebut sudah dimulai beberapa bulan lalu di antaranya melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan semua stakeholder terkait termasuk dengan pemerintah daerah. Pembahasan kemudian berlanjut lebih spesifik baik dengan instansi lain maupun internal dengan tenaga ahli.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan pembahasan menyangkut skema hukum saat ini belum menemukan solusi payung hukum yang sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional.

Baca Juga: Soal penerapan ERP di perbatasan Jakarta, BPTJ: Baru dikaji dan belum sosialisasi

Apabila mengacu pada PP Nomor 32 tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu-Lintas, implementasi ERP memang tidak dimungkinkan di jalan nasional. 

Namun menurut Bambang justru masalah ini perlu dipecahkan karena pada kenyataannya kondisi yang berkembang di Jabodetabek menuntut adanya implementasi ERP di jalan nasional.

“Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini dan secara paralel kami juga membahas skema-skema lain seperti skema pembiayaan, skema teknis ataupun skema kelembagaan, sehingga jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan,” tutur Bambang.

Sesuai lingkup kewenangan, ERP yang dapat diimplementasikan oleh BPTJ ada pada area perbatasan antar wilayah yang merupakan jalan nasional, berbeda dengan DKI Jakarta yang memiliki kewenangan implementasi di jalan-jalan di dalam wilayahnya.

Bambang mengatakan, selain menjadi amanat dari Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), implementasi kebijakan ERP dianggap sudah mendesak mengingat pertumbuhan pergerakan di Jabodetabek yang tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakan manusia di Jabodetabek terus meningkat. Bila pada tahun 2015 pergerakan manusia di Jabodetabek tercatat masih sekitar 47,5 juta pergerakan/hari, maka data tahun 2018 menyebut pergerakan sudah meningkat menjadi 88 juta pergerakan/hari. 

Namun, dari 88 juta pergerakan/hari, hanya sekitar 8% yang menggunakan angkutan umum untuk tujuan aktivitas ke tempat kerja dan rutinitas lainnya,” ujar Bambang.

Sementara, kebijakan ganjil-genap yang telah diterapkan dianggap tak akan terus efektif dalam mengendalikan kemacetan. Karenanya, indikasi yang muncul adalah kemacetan akan meningkat pada jam-jam dan waktu tertentu terutama di ruas-ruas jalan yang menjadi rute komuter para pengguna kendaraan pribadi.

Lebih lanjut, Bambang meminta masyarakat tidak resah atas kebijakan ini. Menurutnya, sebelum kebijakan ini dijalankan akan dilakukan sosialisasi dan uji coba lebih dulu.

Baca Juga: Jalan Margonda, Daan Mogot dan Kalimalang akan jadi jalan berbayar tahun depan

Menurut Bambang, kebijakan ERP berpihak pada kepentingan masyarakat dengan prinsip berkeadilan. Pasalnya, bagi pengguna kendaraan bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP. Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet maka akan semakin besar biaya yang dikenakan.

“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” terang Bambang.

Prinsip berkeadilan dimaksud karena masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi namun dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum. Pengenaan biaya dari kebijakan ERP ini akan menjadi pendapatan negara bukan pajak yang sepenuhnya akan digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan transportasi umum di wilayah tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×