kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.194   6,00   0,04%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Di hadapan forum PBB, Sri Mulyani beberkan cara RI bangun ekonomi di saat pandemi


Kamis, 02 Juli 2020 / 21:22 WIB
Di hadapan forum PBB, Sri Mulyani beberkan cara RI bangun ekonomi di saat pandemi
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani saat berbicara di hadapan forum PBB.


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi pandemi Covid-19 yang tidak pasti dan tidak terduga ini merubah hidup banyak orang. Apalagi, ekonomi global telah mengalami resesi atau potensi depresi.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, kemajuan negara yang telah dilakukan dalam 20-30 tahun terakhir dengan pengentasan kemiskinan dan berbagi kesejahteraan menjadi percuma.

Dari pandangan Sustainable Development Goals (SDGs), pandemi ini merenggut manusia, prosperity (kesejahteraan) dan partnership (kerja sama). Untuk itu, pemerintah perlu dan harus membangun kembali ekonomi Indonesia seperti sedia kala (rebirthing).

Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia harus mundur 5 tahun soal penurunan angka kemiskinan

"Pertama, pandemi ini mempengaruhi ekonomi negara secara signifikan. Hal itu membuat sumber pembiayaan menjadi terbatas, penerimaan perpajakan turun karena semua kegiatan ekonomi terkontraksi, dan pada waktu yang sama, perlu belanja untuk kesehatan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan stimulus pemulihan ekonomi meningkat tajam," jelasnya dalam keterangan resmi bertema “Rebirthing the Global Economy to Deliver Sustainable Development”, Rabu (1/7).

Menkeu bercerita, awalnya anggaran yang sudah didesain tahun ini yakni defisit 1,7% dari GDP, di mana angka ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara lain.

Namun karena pandemi Covid-19, pemerintah harus merevisi defisit sebesar 6,3% meningkat tajam. “Bagaimana caranya untuk membiayai itu? Jika sebuah negara punya space fiskal, bisa dari tabungan dari masa lalunya (past saving), juga pembiayaan dari institusi multilateral," paparnya.

Meski Menkeu turut mengapresiasi berbagai lembaga multilateral tersebut. Menurutnya, itu saja tidak cukup. Sehingga negara berkembang perlu pinjaman lainnya seperti dari pasar uang lokal, bond atau global bond.

Namun, akses pinjaman dari lembaga keuangan global untuk negara berkembang atau negara miskin bunganya terlalu tinggi. Menurutnya, itu adalah diskriminasi yang tidak menciptakan kesempatan yang sama untuk mengejar (catch up) atau mengatasi isu pandemi ini.

Baca Juga: Sitaan aset Jiwasraya Rp 18,4 triliun, Kejagung: Diminta Menkeu sebanyak-banyaknya

Jadi, akses dan harga adalah suatu hal yang penting. Menkeu melanjutkan, dinamika utang akan sangat sulit untuk mayoritas negara di dunia.

Oleh karena itu, pertama yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang dan miskin ini adalah menggunakan pandemi ini untuk momentum reformasi besar-besaran dalam hal pendidikan, perumahan, jaring pengaman sosial atau kualitas belanja.

"Di negara saya, saat meningkatkan belanja, apakah belanja itu bisa dijustifikasi? Apakah belanja itu di arah yang benar? Apakah delivered (sampai / tepat sasaran) dan berdampak positif pada masyarakat dan ekonomi? Itu adalah kualitas belanja. Desain kebijakan saat keadaan darurat sangat sulit dan menantang tapi Anda harus memberikan yang terbaik," tegasnya.

Adapun keadaan pandemi saat ini juga memaksa orang untuk bekerja dari rumah (WFH), sekolah dari rumah (SFH). Kegiatan tersebut bisa digantikan secara virtual dan berhasil.

Baca Juga: Defisit anggaran membengkak, begini strategi pembiyaan pemerintah

Namun yang terpenting, apakah sebuah negara punya infrastruktur digital untuk berubah menerapkan proses bisnis virtual. Sehingga, berinvestasi pada Teknologi Informasi (IT) dan infrastruktur digital sangat penting di masa sekarang dan masa depan.

Untuk itu, menurut Menkeu, arsitektur keuangan global harus dapat merespons dengan baik situasi ini. Banyak negara menghadapi defisit fiskal, belum lagi keseimbangan pembayaran.

Bila tidak segera diatasi, maka situasi fiskal ini akan mempengaruhi sektor keuangan apakah berbentuk kredit macet (NPL) bisa membahayakan ekonomi dan keuangan di banyak negara.

“Respons kebijakan, salah satunya yang dilakukan Indonesia adalah memberi relaksasi untuk restrukturisasi perbankan menyesuaikan guncangan,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×