kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Demokrat: Lahan tak produktif untuk pertanian


Rabu, 26 Februari 2014 / 13:29 WIB
Demokrat: Lahan tak produktif untuk pertanian


Reporter: Yudho Winarto, Adinda Ade Mustami | Editor: Tri Adi

JAKARTA. Partai Demokrat masih mengusung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Agribisnis atau Small Holder Agribusiness Development Initiative (SADI) untuk meningkatkan kesejahteraan petani miskin. Dengan program ini, Demokrat  berharap produktivitas dan akses pasar petani miskin lebih besar. Sebab program ini akan memperkuat jaringan pemasaran ke konsumen dan penelitian tumbuhan atau hewan yang dapat diadaptasi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

Ketua Departemen Keuangan sekaligus Juru Bicara resmi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Ikhsan Modjo, mengatakan jika kembali menang dalam Pemilu 2014, maka Demokrat akan memasukkan rencana peningkatan ketahanan pangan dalam daftar 20 prioritas nasional. Demokrat juga bertekad meningkatkan kesejahteraan para petani Indonesia.

Program yang dijual adalah dengan penyediaan luas lahan pertanian, menyediakan sarana dan prasarana pertanian, memberikan kepastian harga bagi petani, dan menyediakan modal usaha bagi petani. Ikhsan mengklaim, partainya selama ini telah efektif menyediakan sarana dan prasarana pertanian dan modal usaha bagi petani.

Sedangkan dua program lain yakni menyediakan lahan dan kepastian harga belum efektif dilakukan. "Penyediaan lahan terkait masalahnya land reform dan kepastian harga juga terkait faktor alam seperti cuaca dan bencana alam," katanya, Senin (24/2).

Penambahan dan kepemilikan lahan menjadi penting karena alih fungsi lahan pertanian  terus terjadi dengan cepat. Merujuk dana Kementerian Pertanian, saat ini ancaman alih fungsi lahan pertanian seluas 4,1 juta hektare (ha),  setara dengan 42 % total lahan sawah di Indonesia. Alih fungsi lahan tidak sebanding dengan laju percetakan lahan sawah baru yang sebesar 30.000-40.000 ha per tahun.

Adapun untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional hingga 2025, diperkirakan butuh 4,7 juta ha lahan baru, meliputi 1,4 juta ha lahan sawah, 2 juta ha untuk jagung, dan 1,3 juta ha untuk kedelai.

Untuk mengatasi kebutuhan lahan, Demokrat menawarkan revisi Undang-Undang Nomer 18/2004 tentang Perkebunan. Dengan revisi ini maka lahan tak bertuan dan tak produktif akan diambil alih oleh negara untuk digunakan di sektor pertanian atau perkebunan. "Ini bisa mendorong pencetakan lahan baru," kata Ketua Departemen Pertanian DPP Demokrat, Herman Khoiron. Upaya itu juga dilakukan untuk mendorong pembentukan kluster pangan baru sehingga produktivitas pertanian meningkat.

Namun di sisi lain, untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, Demokrat tidak menganggap tabu kebijakan impor pangan karena produksi pangan dalam negeri yang sering kali tidak mampu memenuhi tingkat konsumsi. Impor pangan perlu asalkan pangan tersebut tidak diproduksi di dalam negeri, mengatasi krisis stok pangan, dan menjaga keseimbangan stok dengan harga konsumen. Dengan berbagai program tersebut, diharapkan tidak hanya kesejahteraan petani yang meningkat namun stok pangan terjaga.                  



Lebih baik fokus diintensifikasi lahan

Program peningkatan produksi pangan yang digaungkan oleh Partai Demokrat dinilai susah diimplementasikan dan tidak realistis. Pandangan itu diungkapkan oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati kepada KONTAN, Selasa (25/2).

Enny menilai, janji penciptaan lahan baru melalui revisi Undang-Undang Nomor 18/2004 tentang Perkebunan akan sudah terlaksana. Program itu masih mengawang-awang dan tidak realistis.

Apalagi dalam janji itu, negara akan mengambil alih lahan tak bertuan untuk pengembangan pertanian atau perkebunan. "Dalam kenyataan sebenarnya, ada tidak lahan yang begitu luas yang dibilang tidak bertuan dan tidak produktif itu," katanya.

Jika memang ada, maka potensi sengketa dan konflik lahan akan sangat besar. Tidak hanya dengan masyarakat, konflik juga bisa terjadi antara pusat dan daerah, termasuk hak ulayat masyarakat adat. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah mendatang lebih fokus pada intensifikasi lahan.

Walau lahan terbatas, namun dengan intensifikasi maka produksi akan maksimal. Caranya bisa dengan transfer teknologi dan pengetahuan serta mengarahkan pada pertanian berbasis usaha. "Petani kita masih tradisional dan orientasinya sebatas memenuhi kebutuhan sehari hari," katanya.

Intensifikasi juga harus didukung pendampingan petani dengan menghidupkan peran penyuluh seperti masa lalu, plus pembangunan sarana infrastruktur pertanian yang memadai mulai irigasi, pupuk, dan benih unggul.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro memandang, kebijakan pangan dan pertanian yang saat ini dijalankan cenderung menimbulkan masalah karena dinilai tidak berpihak ke petani. "Impor pangan mengancam nasib petani," katanya. Dia juga menganggap usulan revisi UU perkebunan, sarat dengan pencitraan politik.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×