kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DDTC: Potensi shortfall penerimaan cukai hasil tembakau hanya Rp 1,37 triliun di 2020


Selasa, 21 Juli 2020 / 19:16 WIB
DDTC: Potensi shortfall penerimaan cukai hasil tembakau hanya Rp 1,37 triliun di 2020
ILUSTRASI. Petani mengeringkan tembakau di Kampung Tembakau, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo .

IHT Indonesia saat ini dari sisi perpajakannya. “Baik yang turut mempertimbangkan sisi perilaku produsen maupun konsumen,” tambahnya. 

Berikut adalah pertimbangan dan permasalahan dari sisi produsen maupun konsumen yakni pertama terkait struktur tarif dan produk hasil tembakau yang bersifat sangat kompleks. Sistem strata tarif CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan HJE per unit (World Bank, 2018).

Kedua, kenaikan tarif CHT dan HJE yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antar jenis hasil tembakau. Penting untuk diketahui bahwa penetapan tarif CHT dan HJE yang tidak konsisten dapat menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas para pelaku pasar, termasuk dalam berproduksi dan berinovasi. 

Ketiga, adanya diskrepansi antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) yang tidak sesuai dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (Harga Jual Eceran/HJE). “Akibatnya, predatory pricing dan perang harga antar pabrikan sulit untuk dihindari sehingga fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok menjadi sulit diterapkan,” katanya. 

Bawono juga jelaskan, konsekuensi dari tiga permasalahan dalam konteks CHT yakni  masih adanya potensi shortfall untuk penerimaan CHT pada tahun 2020 hingga level of playing field yang tidak setara antara pelaku bisnis yang memiliki hubungan istimewa dengan berbagai pabrikan besar dan para pelaku bisnis skala mikro dan menengah yang independen karena banyaknya strata tarif CHT di Indonesia.

“Estimasi shortfall penerimaan CHT tahun 2020 sebesar Rp 1,37 triliun atau sekitar 99,2% dengan effort dari target revisi APBN 2020 pada Perpres 72/2020 yang sebesar Rp 164,95 triliun,” ujarnya. 

Baca Juga: Gappri harap simplifikasi cukai tak diterapkan, ini alasannya

Dengan target dalam Perpres No. 72/2020, DDTC Fiscal Research mengestimasi realisasi penerimaan CHT pada tahun ini ialah ialah sebesar 88,26% (tanpa extra effort) dan 99,17% (dengan extra effort).

Tak hanya itu, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Di sisi lain, simplifikasi justru dapat mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.

Selain itu, penting juga untuk menetapkan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan HJE. Setelah simplifikasi dilakukan, penentuan jarak tarif antara CHT dan HJE menjadi faktor yang dapat mendorong stabilitas dan tentunya akan menciptakan iklim usaha yang berkepastian.

Untuk itu, DDTC Fiscal Research menggarisbawahi dua pertimbangan utama yang patut menjadi perhatian pemerintah. Pertimbangan pertama ialah memperkecil jarak CHT dan HJE golongan 1 dan golongan 2 untuk rokok mesin. Pertimbangan selanjutnya ialah memperlebar jarak tarif CHT dan HJE antara rokok mesin dengan rokok tangan untuk melindungi tenaga kerja IHT.

Serta menghapus diskrepansi rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau dan menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Perpres No. 18/2020 dan PMK 77/2020 dapat diimplementasikan secara efektif ke dalam suatu blueprint kebijakan CHT.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×