Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 turut berdampak pada sektor pengolahan tembakau atau yang dikenal sebagai Industri Hasil Tembakau (IHT).
Partner Tax Research & Training Services Danny Darusaalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menjelaskan, salah satu kebijakan di IHT yang paling menimbulkan banyak polemik di lapangan ialah Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Oleh karena itu tak heran, kebijakan CHT di Indonesia sendiri memiliki banyak tujuan yang sering kali tidak sejalan. Misalnya saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan sebagai beberapa di antaranya.
“Di saat tekanan perekonomian nasional karena adanya potensi pelebaran defisit semakin meningkat saat pandemi, tekanan dari sisi pelaku bisnis di sektor IHT sendiri juga tak kalah signifikan. Di sisi lain, penerimaan negara sendiri masih sangat bergantung pada CHT,” jelas Bawono dalam live conference, Selasa (21/7).
Baca Juga: Simplikasi tarif cukai rokok dapat mendorong terciptanya persaingan setara
Berdasarkan data dari LKPP dan Kementerian Keuangan, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan pada tahun 2018 dan 2019 mencapai 10,07% dan 10,67%. Padahal pada satu dekade yang lalu, kontribusinya hanya berkisar 8% dari total penerimaan perpajakan. Sehingga masih terdapat lebih dari 5 juta orang yang menggantungkan hidupnya di IHT pada 2018 (Kementerian Perindustrian, 2019).
“Oleh karena itu, pelemahan pada sektor ini tentunya juga akan berdampak luas bagi kondisi perekonomian negara,” tambahnya.
Selain dikarenakan adanya pelemahan ekonomi, tekanan terhadap sektor IHT lainnya juga tidak terlepas dari tujuan kebijakan CHT lainnya, yakni untuk mengendalikan konsumsi rokok. Menurutnya ini menjadi suatu hal yang seringkali menjadi kontroversi dimana produk tembakau semacam rokok sangat berkaitan dengan risiko kesehatan pernafasan sebagaimana halnya Covid-19.
“Nampaknya relaksasi penerimaan negara dari sektor ini masih sangat sulit dilakukan mengingat CHT sendiri masih menjadi “tulang punggung” setidaknya dalam konteks penerimaan perpajakan,” paparnya.
Bawono juga bilang, meskipun rencana ekstensifikasi cukai telah dicantumkan dalam omnibus law perpajakan, produk hukum tersebut belum menemui kata sepakat hingga saat ini sehingga CHT masih harus dioptimalkan kembali untuk menjadi sumber penerimaan cukai andalan pada tahun 2020 dan mungkin pula beberapa tahun ke depan.
Sebab, dengan berbagai tekanan pada perekonomian tahun ini serta untuk mencapai target tujuan CHT yang beragam, DDTC Fiscal Research menilai perlu untuk mengamati beberapa permasalahan mendasar yang masih dapat dibenahi untuk memperbaiki kinerja
Baca Juga: Simplifikasi tarif cukai mengancam rantai bisnis pelaku IHT
IHT Indonesia saat ini dari sisi perpajakannya. “Baik yang turut mempertimbangkan sisi perilaku produsen maupun konsumen,” tambahnya.
Berikut adalah pertimbangan dan permasalahan dari sisi produsen maupun konsumen yakni pertama terkait struktur tarif dan produk hasil tembakau yang bersifat sangat kompleks. Sistem strata tarif CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan HJE per unit (World Bank, 2018).
Kedua, kenaikan tarif CHT dan HJE yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antar jenis hasil tembakau. Penting untuk diketahui bahwa penetapan tarif CHT dan HJE yang tidak konsisten dapat menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas para pelaku pasar, termasuk dalam berproduksi dan berinovasi.
Ketiga, adanya diskrepansi antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) yang tidak sesuai dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (Harga Jual Eceran/HJE). “Akibatnya, predatory pricing dan perang harga antar pabrikan sulit untuk dihindari sehingga fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok menjadi sulit diterapkan,” katanya.
Bawono juga jelaskan, konsekuensi dari tiga permasalahan dalam konteks CHT yakni masih adanya potensi shortfall untuk penerimaan CHT pada tahun 2020 hingga level of playing field yang tidak setara antara pelaku bisnis yang memiliki hubungan istimewa dengan berbagai pabrikan besar dan para pelaku bisnis skala mikro dan menengah yang independen karena banyaknya strata tarif CHT di Indonesia.
“Estimasi shortfall penerimaan CHT tahun 2020 sebesar Rp 1,37 triliun atau sekitar 99,2% dengan effort dari target revisi APBN 2020 pada Perpres 72/2020 yang sebesar Rp 164,95 triliun,” ujarnya.
Baca Juga: Gappri harap simplifikasi cukai tak diterapkan, ini alasannya
Dengan target dalam Perpres No. 72/2020, DDTC Fiscal Research mengestimasi realisasi penerimaan CHT pada tahun ini ialah ialah sebesar 88,26% (tanpa extra effort) dan 99,17% (dengan extra effort).
Tak hanya itu, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Di sisi lain, simplifikasi justru dapat mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.
Selain itu, penting juga untuk menetapkan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan HJE. Setelah simplifikasi dilakukan, penentuan jarak tarif antara CHT dan HJE menjadi faktor yang dapat mendorong stabilitas dan tentunya akan menciptakan iklim usaha yang berkepastian.
Untuk itu, DDTC Fiscal Research menggarisbawahi dua pertimbangan utama yang patut menjadi perhatian pemerintah. Pertimbangan pertama ialah memperkecil jarak CHT dan HJE golongan 1 dan golongan 2 untuk rokok mesin. Pertimbangan selanjutnya ialah memperlebar jarak tarif CHT dan HJE antara rokok mesin dengan rokok tangan untuk melindungi tenaga kerja IHT.
Serta menghapus diskrepansi rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau dan menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Perpres No. 18/2020 dan PMK 77/2020 dapat diimplementasikan secara efektif ke dalam suatu blueprint kebijakan CHT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News