Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah goncangan akibat pandemi Covid-19, sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sorotan lantaran menderita tekanan keuangan yang berat. Tak hanya karena utang, ekonom pun mensinyalir tata kelola korporasi di beberapa BUMN menjadi biang persoalan.
Beberapa BUMN yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan antara lain PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), BUMN karya khususnya PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Angkasa Pura (AP), hingga PT PLN (Persero).
Baru-baru ini, PT Pertamina (Persero) juga digoyang kabar yang tidak sedap. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dikabarkan berencana melakukan aksi mogok kerja sebagai buntut pemotongan gaji karyawan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal melihat setidaknya ada tiga persoalan utama yang dihadapi BUMN. Pertama, banyaknya penugasan yang dibebankan kepada BUMN, khususnya dalam hal pembangunan proyek infrastruktur yang agresif dijalankan pemerintah.
Baca Juga: Kementerian BUMN berharap PKPU Garuda Indonesia Kelar Pertengahan 2022
Alhasil, sejumlah perusahaan plat merah terutama BUMN karya dan Angkasa Pura harus menanggung beban keuangan dan utang yang tinggi. "Penugasan yang tidak diimbangi dengan alternatif dan solusi pembiayaan infrastruktur. Jadi umumnya kalau BUMN karya beban utang salah satu yang paling tinggi karena banyak penugasan untuk proyek infrastruktur," kata Faisal saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (23/12).
Kedua, masalah di sejumlah BUMN juga terjadi karena faktor eksternal, terutama pandemi Covid-19. Yang paling terlihat, adalah Garuda Indonesia. Di tengah kondisi keuangan yang sakit, operasional bisnis Garuda juga terhantam pandemi yang menyebabkan merosotnya pendapatan.
Namun di samping kedua persoalan tersebut, Faisal mengingatkan potensi masalah yang ketiga, terkait tata kelola secara korporasi. Masalah di tubuh Garuda saat ini juga menjadi cerminan persoalan tata kelola perusahaan di waktu yang lalu. Faisal juga menyoroti mengenai masalah pemilihan jajaran direksi dan komisaris yang masih kental nuansa politis.
"Di luar itu juga ada masalah inefisiensi dan good governance dari BUMN yang seringkali dibebani oleh kepentingan segolongan elit. Belum lagi penempatan direksi dan komisaris yang sarat kepentingan politik daripada kompetensi," ujar Faisal.
Dihubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov memberikan sejumlah catatan mengenai rapor sejumlah merah BUMN. Menurut Abra, pandemi covid-19 bukan menjadi penyebab tunggal masalah keuangan.
Covid-19 lebih sebagai pemantik mencuatnya persoalan yang sebelumnya sudah bertumpuk. "Jadi ini kan seperti gunung es. Selama ini seperti tak terlihat, tapi sebenarnya sudah bisa ditebak nasibnya akan begini," kata Abra.
Dia juga memberikan catatan mengenai tumpukan masalah di sejumlah BUMN. Pertama, sulitnya kondisi keuangan dan lonjakan utang pada beberapa BUMN diakibatkan terlalu agresifnya pemerintah dalam melayangkan proyek penugasan.
Abra berpandangan, pemerintah terlalu menerapkan skenario yang over optimistis pada banyak proyek penugasan ke BUMN. Padahal, semestinya skenario-skenario terburuk terutama faktor eksternal diluar kemampuan BUMN, harus disiapkan dan menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi agresifnya proyek yang hendak dibangun.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya Covid-19. Proyek-proyek penugasan yang sudah rampung dan beroperasi tidak bisa memberikan pendapatan seperti yang diharapkan oleh BUMN sebagai korporasi.
Mengenai proyek-proyek penugasan ini, Abra menekankan pentingnya keseriusan dan keberanian pemerintah mengevaluasi kembali proyek-proyek mana yang harus berlanjut, yang bisa ditunda, dan yang dinilai justru bakal menjadi beban kerugian menjadi lebih besar.
Kedua, karena ada campur tangan pemerintah dibalik beban BUMN tersebut, pemerintah pun harus mengambil peran dalam meringankan beban BUMN yang bersangkutan. Alhasil, sebagai pemilik ataupun pemegang saham (shareholder), penyertaan modal negara (PMN) lantas dikucurkan untuk membantu BUMN.
Abra mengingatkan, jangan sampai PMN ini terus menjadi kebiasaan yang pada ujungnya menjadi beban negara. Oleh sebab itu, dalam sisa dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Abra menekankan pentingnya menyehatkan BUMN. Jangan sampai, sakit di tubuh sejumlah BUMN berlanjut dan menjadi beban yang diwariskan ke pemerintahan berikutnya.
Ketiga, untuk BUMN yang kondisinya mengkhawatirkan meski tidak dibebani penugasan, Abra menyoroti pentingnya peran Kementerian BUMN. Ke depan, kementerian yang sekarang dipimpin oleh Erick Thohir ini mesti jeli dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja perusahaan plat merah.
Termasuk dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), juga memonitor dan mengevaluasi rencana-rencana ekspansi yang hendak dilakukan. "Dalam hal ini kalau Kementerian BUMN saja pasti akan berat melakukan evaluasi satu per satu. Makannya kan ada komisaris yang mewakili atau merepresentasikan pemerintah, itu harus benar-benar dijalankan," tandas Abra.
Baca Juga: Total Suntikan Modal BUMN 2022 Rp 67 Triliun