Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Jakarta. Pemerintah akan menerbitkan banyak surat utang tahun ini guna menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang menjadi 6,27% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bagaimana cara membayar kembali utang pemerintah?
Sebelumnya, defisit APBN tahun ini hanya ditetapkan sebesar 5,07%, tapi diperlebar untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi virus corona.
Secara nominal, defisit APBN tahun ini melebar menjadi Rp 1.028,5 triliun dari proyeksi defisit sebelumnya yang sebesar Rp 852,9 triliun.
Baca Juga: Defisit melebar, pembayaran bunga utang bisa mencapai Rp 338,8 triliun
Berdasarkan draf kajian Kemenkeu berjudul Skema Pemulihan Ekonomi Nasional yang dikutip Kontan.co.id pada Senin (1/5) dengan defisit yang melebar, maka pembiayaan APBN akan dilakukan melalui beberapa cara.
Beberapa diantaranya adalah, pemerintah berencana melakukan penerbitan surat berharga negara (SBN) domestik dan valuta asing (valas) senilai US$ 10 miliar - US$ 14 miliar.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pinjaman program dari development partners, baik bilateral maupun multilateral dengan nilai antara US$ 6 miliar - US$ 8 miliar.
Tambahan utang bakal memperbesar utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I-2020 sebesar US$ 389,3 miliar. ULN Indonesia tersebut tumbuh 0,5% secara year-on-year (yoy), jauh lebih rendah apabila dibandingkan pertumbuhan di kuartal sebelumnya yang sebesar 7,8% yoy.
Baca Juga: Defisit keseimbangan primer tahun Ini diprediksi tembus Rp 689,7 triliun
Adapun ULN sektor publik baik dari pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 183,8 miliar, sedangkan ULN sektor swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar US$ 205,5 miliar.
Dari sisi ULN pemerintah turun pada akhir kuartal I-2020 menjadi US$ 181,0 miliar atau terkontraksi 3,6% yoy, berbalik dari kondisi kuartal sebelumnya yang tumbuh sebesar 9,1% secara tahunan.
Dengan banyaknya beban utang tersebut, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menganalisa, pembayaran ULN pemerintah setelah pandemi Covid-19 berakhir masih akan didominasi dengan cara pembiayaan melalui penerbitan surat utang.
"Apalagi jika melihat dari imbal hasil (yield) surat utang Indonesia yang saat ini masih relatif menarik, sehingga masih akan diandalkan pemerintah untuk membayar ULN pasca Covid-19," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (1/5).
Baca Juga: Produksi susu segar nyaris stagnan dalam 20 tahun terakhir
Namun demikian, kata Yusuf, selama vaksin belum ditemukan tentu perebutan likuiditas masih akan relatif ketat antara negara emerging market. Untuk itu, dalam membayar utang pemerintah perlu mendorong agar penggunaan utangnya digunakan untuk hal yang lebih produktif, sehingga bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi.
Apabila peningkatan kinerja ekonomi, yang diukur dari PDB, bisa lebih besar daripada peningkatan laju nominal utang maka pemerintah bisa menjaga target rasio utang terhadap PDB di bawah 40%.
Yusuf menilai, rasio ini juga merupakan indikator penting yang dilihat oleh investor. Selain rasio utang terhadap PDB, bunga utang juga perlu dipertimbangkan pemerintah dalam membayar utang ke depannya setelah pandemi Covid-19.
"Pemerintah bisa memanfaatkan momentum suku bunga yang saat ini relatif rendah dengan melakukan debt-switch terhadap utang-utang dengan bunga yang lebih rendah. Hal ini perlu dilakukan agar belanja bunga utang tidak menjadi beban berlebih dalam APBN," paparnya.
Baca Juga: Kemenkeu: Porsi penerbitan SBN ritel pertimbangkan aspek permintaan
Adapun penggunaan utang untuk hal yang lebih produktif ini, misalnya untuk melanjutkan program hilirisasi industri. Yusuf menjelaskan, caranya bisa dilakukan dengan menambah dana penelitian untuk industri, subsidi gas dan listrik, sampai dengan peningkatan logistik nasional.
Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa dikerek dan ekspor produk manufaktur dengan nilai tambah yang lebih besar bisa ditingkatkan.
Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan ekspor manufaktur ini juga akan berkorelasi dengan debt to service ratio (DSR) alias rasio utang pemerintah.
Pasalnya, DSR-lah yang akan menggambarkan bagaimana kemampuan membayar utang pemerintah dalam bentuk valas, khususnya dari hasil ekspor.
DSR adalah jumlah beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang yang dibagi jumlah penerimaan ekspor. DSR mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang. Jika rasio DSR semakin besar maka beban utang yang ditanggung pun semakin besar.
"Saya kira kinerja ekspor Indonesia tidak serta merta akan rebound ke level yang baik. Apalagi dengan masih dibayanginya ketidakpastian ekonomi global, terutama di tahun depan," ungkapnya.
Baca Juga: Dinilai sebagai tulang punggung kas negara, pemerintah diminta lindungi IHT
Dengan asumsi tersebut, Yusuf memperkirakan DSR bisa mengalami peningkatan. Namun, peningkatan tersebut dirasa tidak akan terlalu besar, karena di saat yang bersamaan kebutuhan permintaan impor bahan baku juga akan relatif terbatas.
Selain itu, apabila ditinjau dari segi kemampuan, Yusuf menilai pemerintah masih mampu untuk menanggung semua beban utang tersebut. Hanya saja, memang manajemen utang ini yang perlu dilakukan secara berhati-hati.
Selain masalah potensi masalah bunga utang yang akan menambah beban APBN, utang yang dilakukan dalam bentuk valas juga berpotensi membesar jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah.
"Inilah yang perlu dicermati pemerintah secara hati-hati," kata Yusuf.
Baca Juga: Kemenkeu: Seharusnya iuran BPJS Kesehatan kelas I Rp 286.000, kelas II Rp 184.000
Berdasarkan data BI, DSR Tier-1 yang meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek (metode ini mengacu pada perhitungan DSR World Bank) tercatat sebesar 27,65%. Angka ini jauh lebih tinggi dari DSR kuartal IV-2019 yang hanya 18,00%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News