Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan. Aturan ini adalah turunan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.
Dalam naskah peraturan itu, bagi wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, PP ini berlaku atas harta bersih yang belum atau kurang diungkap, termasuk bagi wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan pengalihan dan/atau repatriasi harta.
Sementara bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, PP ini menyasar harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dalam PP ini, intensi pemerintah tidak lagi melakukan penawaran kepada wajib pajak sehingga berbeda dengan saat amnesti pajak. Oleh karena itu, dirinya setuju apabila Ditjen Pajak melakukan official assessment terhadap harta non kas dan setara kas yang belum diungkap oleh wajib pajak.
“Saya setuju official assessment karena dulu wajib pajak sudah diberi kesempatan. Pertama, ikut amnesti pajak pakai nilai wajar hasil penilaian sendiri (untuk harta). Kedua, tidak ikut amnesti pajak isi SPT berdasarkan nilai perolehan,” kata Yustinus kepada KONTAN, Kamis (21/9).
Asal tahu saja, dalam peraturan baru ini, sesuai dengan Pasal 5 ayat 2, penilaian harta kas setara kas menggunakan nilai nominal, tetapi untuk selain kas dan setara kas, maka penilaian harta akan menggunakan acuan sesuai kondisi harta tersebut. Misalnya nilai-nilai di NJOP untuk tanah dan bangunan dan NJKP untuk kendaraan.
Dengan demikian menurut Yustinus, apabila nantinya ada dispute soal nilai, wajib pajak tidak perlu khawatir karena akan ada forumnya, yaitu mengajukan keberatan atau banding setelah ada pemeriksaan pajak atau mengajukan nilai berdasarkan KJPP .
“Tak beralasan pengusaha minta kelonggaran lagi untuk hal ini karena alasan2 yang sudah saya sebutkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, terkait PP ini pihaknya memiliki masukan agar pemerintah memberi kepastian soal penghitungan nilai harta bersih yang diatur pada Pasal 5 ayat 2 dalam PP tersebut.
Sebelumnya, dalam amnesti pajak, nilai harta bersih dihitung berdasarkan penghitungan wajib pajaknya sendiri atau self assessment. Sedangkan menurut PP ini, nilai harta bersih dihitung berdasarkan temuan atau hasil pemeriksaan oleh fiskus (petugas pajak).
“Memang itu salah satu yang dikhawatirkan sebagai ajang perdebatan atau bisa menimbulkan kemungkinan persekongkolan, karena waktu amnesti pajak self assessment tetapi pada PP 36 kan ditentukan pajak, ini perbedaan harus dijembatani, jangan ada ruang untuk persekongkolan, harus ada kepastian,” kata Rosan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News