Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) melihat ada enam isu krusial yang perlu menjadi perhatian masyarakat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Pendiri dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan bahwa secara umum, UU Kesehatan yang lama memang sudah membutuhkan pembaruan. Sehingga ada beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang memang patut diapresiasi.
Namun, tidak sedikit pasal dalam rancangan undang-undang ini yang perlu mendapat kritik dan perhatian masyarakat.
"Ada kesan bahwa beberapa pasal di RUU Kesehatan ini yang mengembalikan desentralisasi kesehatan menjadi sentralistik. Di antaranya dengan memberi kewenangan luas kembali ke pemerintah pusat," kata Diah dalam keterangannya, Minggu (19/2).
Baca Juga: Kemenkes Banyak Pegang Kendali di RUU Kesehatan, Pengamat: Tak akan Berjalan Optimal
CISDI mencatat terdapat enam hal penting yang perlu mendapat perhatian masyarakat terkait RUU Kesehatan ini. Berikut enam catatan tersebut:
1.Minimnya Pelibatan Masyarakat yang Bermakna dan Inklusif dalam Perumusan di DPR
CISDI melihat pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan di Baleg DPR ini terlalu singkat. Menurutnya juga DPR tidak cukup hanya mengundang profesi, tetap juga harus mendengar suara masyarakat sipil yang mengetahui dengan jelas kondisi di lapangan.
Utamanya yang menyangkut kelompok rentan seperti anak-anak, lansia atau penyandang disabilitas, termasuk yang mendampingi tenaga kesehatan.
"CISDI melihat reformasi di sektor kesehatan memang perlu. Namun, proses ini hendaknya dilakukan secara inklusif dan transparan," kata Diah.
2.Wewenang Berlebihan ke Kementerian Kesehatan yang Berpotensi Mengarah kepada Sentralisasi dan Minim Pelibatan Aktor Non-pemerintah
CISDI melihat Kementerian Kesehatan menjadi memegang peranan lebih luas dalam RUU ini. Setidaknya ada dua pasal yang menempatkan Kemenkes memiliki kewenangan lebih.
Pertama, pasal 425 yang mengubah beberapa isi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pasal 425 ayat 3, misalnya, terang-terangan menyebut BPJS Kesehatan berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Beleid ini mengubah isi Pasal 13 dalam UU BPJS.
CISDI khawatir perubahan pasal ini akan menghilangkan independensi BPJS Kesehatan. Independensi BPJS Kesehatan penting agar lembaga ini tetap dapat mempertahankan otonominya secara operasional untuk menjalankan fungsi sebagai pembeli dalam sistem kesehatan.
Penugasan dari Kementerian Kesehatan berpotensi makin menghilangkan otonomi BPJS Kesehatan untuk memilih metode pembayaran, menetapkan tarif, dan mengontrak pemberi layanan. Dengan begitu, BPJS kesehatan akan kesulitan mengelola dana amanat dan menjamin solvabilitas.
Kedua, Pasal 462 dalam RUU Kesehatan mengenai komite kebijakan sektor kesehatan. Pada ayat 4 pasal tersebut tidak menyebutkan pelibatan masyarakat dan elemen lain dalam komite yang sedianya menjadi wadah koordinasi dan komunikasi dalam rangka akselerasi ketahanan sistem kesehatan.
CISDI menyarankan agar menjadikan konsep National Health Assembly (NHA) di Thailand sebagai referensi yang membangun kolaborasi antara profesional bidang kesehatan, perwakilan pemerintah, dan masyarakat sipil.
Baca Juga: Insp!r Indonesia Menolak Revisi UU BPJS Masuk Dalam RUU Omnibus Law Kesehatan
3.Pemusatan Sistem Kesehatan Belum Komprehensif.
CISDI melihat Pasal 22 dan 29 pada RUU Kesehatan secara eksplisit memisahkan terminologi pelayanan kesehatan primer (upaya kesehatan perorangan) dengan pelayanan kesehatan masyarakat primer (upaya kesehatan masyarakat) yang mereduksi makna layanan kesehatan primer yang komprehensif.
Menurutnya, Integrasi layanan kesehatan primer juga hanya fokus pada sektor publik tanpa melibatkan sektor swasta dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan primer tingkat pertama misalnya menitikberatkan pada Puskesmas, sementara peran fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta bersifat opsional. Bahkan belum ada aturan mengenai pemberian kewenangan dan insentif yang bisa diberikan pada layanan swasta.
Selanjutnya Pasal 193 ayat 1 RUU Kesehatan tidak menyebutkan kader kesehatan dalam kategori Sumber Daya Manusia Kesehatan. Ayat 18 pada pasal ini mengunci terminologi tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sebatas tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas pemulasaran jenazah, dan supir ambulans.
CISDI menilai pasal ini berpotensi mendorong pelembagaan kader kesehatan sebagai SDM kesehatan yang lingkupnya berada pada Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyrakat. Insentif yang diberikan pada mereka juga hanya bersifat anjuran.
4.Potensi Pasal Karet Pemidanaan Kelalaian Tenaga Kesehatan.
Pasal 462 yang mengatur ketentuan pidana menyebut tenaga medis yang lalai berat sehingga menyebabkan pasien luka bakal dipidana 3 tahun. Sementara jika menyebabkan pasien meninggal akan terkena hukuman penjara 5 tahun.
CISDI menilai pasal ini berpotensi menjadi pasal karet karena tidak memberikan definisi pada “kelalaian berat” yang dimaksud. Penjelasan pasal ini pun tidak jelas.
Selain itu, pada Bab 18 RUU Kesehatan mengenai ketentuan pidana tersebut juga tidak menyinggung hubungannya dengan aturan yang sudah ada seperti UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal ini dikhawatirkan mengeliminasi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kehormatan Kedokteran atau komite ahli yang menilai dan mengukur lalai tidaknya tindakan tenaga kesehatan.
Baca Juga: Ini Tanggapan IDI Soal RUU Omnibus Law Kesehatan
5.Prioritas Pendanaan Kesehatan
CISDI mendukung Pasal 420 ayat 2 RUU Kesehatan yang menaikkan anggaran kesehatan menjadi 10 persen APBN di luar gaji. Sebelumnya UU Kesehatan hanya mewajibkan alokasi anggaran kesehatan hanya 5 persen APBN.
Namun CISDI meminta agar pemerintah memastikan belanja kesehatan ini tidak didominasi semata pada pembelian alat-alat kesehatan semata, khususnya di daerah, namun juga pada prioritas penguatan layanan kesehatan primer.
6.Definisi Kelompok Berisiko dan Belum Adanya Insentif Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Pandemi
RUU Kesehatan mencantumkan landasan dasar penanganan pandemi. Namun masih ada beberapa definisi di dalamnya yang belum jelas.
Di antaranya Pasal 386 dan Pasal 391 menyebutkan “populasi berisiko” tapi tanpa disertai penjelasan atas definisinya.
RUU Kesehatan juga luput memastikan pelayanan dasar kesehatan selama pandemi tetap berjalan seperti misalnya program imunisasi dasar serta layanan untuk ibu hamil.
RUU Kesehatan juga tidak menyebutkan insentif khusus bagi tenaga kesehatan yang ikut terlibat dalam penanganan wabah. Padahal belajar dari pandemi Covid-19, insentif tersebut dibutuhkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News