Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
3.Pemusatan Sistem Kesehatan Belum Komprehensif.
CISDI melihat Pasal 22 dan 29 pada RUU Kesehatan secara eksplisit memisahkan terminologi pelayanan kesehatan primer (upaya kesehatan perorangan) dengan pelayanan kesehatan masyarakat primer (upaya kesehatan masyarakat) yang mereduksi makna layanan kesehatan primer yang komprehensif.
Menurutnya, Integrasi layanan kesehatan primer juga hanya fokus pada sektor publik tanpa melibatkan sektor swasta dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan primer tingkat pertama misalnya menitikberatkan pada Puskesmas, sementara peran fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta bersifat opsional. Bahkan belum ada aturan mengenai pemberian kewenangan dan insentif yang bisa diberikan pada layanan swasta.
Selanjutnya Pasal 193 ayat 1 RUU Kesehatan tidak menyebutkan kader kesehatan dalam kategori Sumber Daya Manusia Kesehatan. Ayat 18 pada pasal ini mengunci terminologi tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sebatas tenaga administrasi, tenaga keuangan, petugas pemulasaran jenazah, dan supir ambulans.
CISDI menilai pasal ini berpotensi mendorong pelembagaan kader kesehatan sebagai SDM kesehatan yang lingkupnya berada pada Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyrakat. Insentif yang diberikan pada mereka juga hanya bersifat anjuran.
4.Potensi Pasal Karet Pemidanaan Kelalaian Tenaga Kesehatan.
Pasal 462 yang mengatur ketentuan pidana menyebut tenaga medis yang lalai berat sehingga menyebabkan pasien luka bakal dipidana 3 tahun. Sementara jika menyebabkan pasien meninggal akan terkena hukuman penjara 5 tahun.
CISDI menilai pasal ini berpotensi menjadi pasal karet karena tidak memberikan definisi pada “kelalaian berat” yang dimaksud. Penjelasan pasal ini pun tidak jelas.
Selain itu, pada Bab 18 RUU Kesehatan mengenai ketentuan pidana tersebut juga tidak menyinggung hubungannya dengan aturan yang sudah ada seperti UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal ini dikhawatirkan mengeliminasi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kehormatan Kedokteran atau komite ahli yang menilai dan mengukur lalai tidaknya tindakan tenaga kesehatan.
Baca Juga: Ini Tanggapan IDI Soal RUU Omnibus Law Kesehatan
5.Prioritas Pendanaan Kesehatan
CISDI mendukung Pasal 420 ayat 2 RUU Kesehatan yang menaikkan anggaran kesehatan menjadi 10 persen APBN di luar gaji. Sebelumnya UU Kesehatan hanya mewajibkan alokasi anggaran kesehatan hanya 5 persen APBN.
Namun CISDI meminta agar pemerintah memastikan belanja kesehatan ini tidak didominasi semata pada pembelian alat-alat kesehatan semata, khususnya di daerah, namun juga pada prioritas penguatan layanan kesehatan primer.
6.Definisi Kelompok Berisiko dan Belum Adanya Insentif Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Pandemi
RUU Kesehatan mencantumkan landasan dasar penanganan pandemi. Namun masih ada beberapa definisi di dalamnya yang belum jelas.
Di antaranya Pasal 386 dan Pasal 391 menyebutkan “populasi berisiko” tapi tanpa disertai penjelasan atas definisinya.
RUU Kesehatan juga luput memastikan pelayanan dasar kesehatan selama pandemi tetap berjalan seperti misalnya program imunisasi dasar serta layanan untuk ibu hamil.
RUU Kesehatan juga tidak menyebutkan insentif khusus bagi tenaga kesehatan yang ikut terlibat dalam penanganan wabah. Padahal belajar dari pandemi Covid-19, insentif tersebut dibutuhkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News