Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kemudahan berusaha di Indonesia masih belum sepenuhnya terwujud. Salah satu indikator yang harus dibenahi adalah indikator starting a business atau pendaftaran usaha.
Menurut Indeks EoDB 2018, waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan usaha di Indonesia selama 23 hari yang mencakup 11 prosedur. Selain itu, terdapat 69 regulasi untuk pendaftaran menjadi bisnis legal. Hal ini masih diikuti dengan izin bangunan atau izin gangguan yang masih berlaku di beberapa daerah.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy, berpendapat, rumitnya birokrasi perizinan membuat orang lebih memilih bertahan di ranah informal meski harus menanggung sejumlah opportunity cost, seperti perlindungan keamanan, akses kredit bank, dan sebagainya.
"Pada akhirnya hal ini berdampak pada minat usaha informal untuk mendaftarkan usahanya menjadi formal dan minat investor di awal untuk membuka bisnis di Indonesia," ujar Imelda, dalam laporan penelitiannya, Selasa (11/12).
Sementara, Imelda mengapresiasi penerapan Online Single Submisson (OSS) sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Namun, CIPS menilai, implementasi OSS masih terhambat kesiapan infrastruktur teknologi informasi dan masih belum terintegrasinya peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Belum semua daerah, kabupaten atau kota menerapkan OSS karena daerah mereka belum didukung infrastruktur teknologi informasi dan juga koneksi internet. Perbaikan ini butuh komitmen dari pemerintah daerah untuk melengkapi semuanya,” jelasnya.
Selain itu, CIPS menyarankan perlunya pemerintah melakukan sinkronisasi peraturan pusat dengan daerah. Sinkronisasi penting untuk mencegah adanya pertentangan peraturan, misalnya terkait penerbitan izin. Jangan sampai, pengusaha harus mengurus dokumen yang mengandung keterangan yang sama di dua tingkat pemerintahan.
CIPS memandang rendahnya peringkat Indonesia pada indikator pendaftaran memulai usaha merupakan ironi. Menurut Sensus Ekonomi BPS 2016, dari sekitar 26,7 juta unit usaha di Indonesia, hanya 1,8 juta unit yang berbentuk badan usaha. Berarti masih ada sekitar 24,8 juta unit yang belum berbadan usaha.
Sementara, unit usaha di Indonesia didominasi oleh unit usaha berskala Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang jumlahnya mencapai 26,2 juta. Lantas, dapat diasumsikan mayoritas unit usaha di Indonesia adalah UMK yang belum berbentuk badan usaha atau informal.
Padahal kontribusi unit usaha informal atau UMK terbilang besar pada Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sektor UMK juga dapat menyerap tenaga kerja sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor usaha skala besar.
"Penyederhanaan prosedur perizinan untuk pendaftaran usaha akan membuka kesempatan tumbuhnya para wirausahawan sehingga tidak akan takut disulitkan oleh pengurusan perizinan. Ini tentu akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan akan menambah besar kontribusi UMK pada PDB," ujar Imelda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News