kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.894.000   -2.000   -0,11%
  • USD/IDR 16.208   -7,00   -0,04%
  • IDX 7.898   -32,88   -0,41%
  • KOMPAS100 1.110   -7,94   -0,71%
  • LQ45 821   -5,85   -0,71%
  • ISSI 266   -0,63   -0,24%
  • IDX30 424   -3,04   -0,71%
  • IDXHIDIV20 487   -3,38   -0,69%
  • IDX80 123   -1,10   -0,89%
  • IDXV30 126   -1,56   -1,22%
  • IDXQ30 137   -1,32   -0,96%

Catatan untuk RAPBN 2026, Ini Kata Celios


Senin, 18 Agustus 2025 / 17:05 WIB
Catatan untuk RAPBN 2026, Ini Kata Celios
ILUSTRASI. Celios memberikan sejumlah catatan untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.?


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Center of Economic and Law Studies (Celios) memberikan sejumlah catatan untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai RAPBN 2026 belum mampu menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari kebijakan efisiensi anggaran yang berlanjut, di tengah tingginya beban utang jatuh tempo dan lonjakan pembayaran bunga utang.

"Dalam 10 tahun terakhir, belanja bunga naik 227%. Solusinya bukan efisiensi barbarisme seperti saat ini, melainkan renegosiasi utang dengan kreditur dan mendorong penerimaan pajak yang lebih kreatif," jelas Bhima dalam keterangannya, Sabtu (16/8/2025).

Bhima bilang efisiensi belanja sepanjang dua kuartal pertama 2025 telah menghasilkan pertumbuhan belanja pemerintah yang negatif. Dengan pola itu, ia memperkirakan kontribusi APBN terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2026 bakal cenderung minim.

Baca Juga: Sri Mulyani: Anggaran untuk Renovasi 2 Juta Rumah Sebesar Rp 8,6 Trilun pada 2026

Ia juga menyoroti minimnya perhatian terhadap perlindungan lingkungan hidup. Anggaran untuk pos ini hanya sebesar Rp 13,4 triliun, turun 4,6% dalam lima tahun terakhir. "Padahal kita sedang menghadapi krisis iklim, tetapi anggaran lingkungan hidup justru dipangkas," kata Bhima.

Selain itu, Bhima menyoroti membengkaknya pos "belanja lainnya" yang mencapai Rp 488,8 triliun atau melonjak 50,4% dibanding tahun sebelumnya. Ia mempertanyakan transparansi pos tersebut, mengingat alokasinya berpotensi digunakan untuk program ketahanan pangan dan makan bergizi gratis (MBG). 

"Kenapa tidak dialokasikan ke pos anggaran yang sudah ada? Apa yang mau ditutupi oleh pemerintah sehingga publik kesulitan melacak pos belanja lainnya?" sebutnya.

Program MBG sendiri dalam RAPBN 2026 dianggarkan Rp 335 triliun, naik 371,8% dari Rp 71 triliun pada 2025. Bhima menilai lonjakan anggaran MBG ini berpotensi membebani dana transfer ke daerah maupun mendorong utang baru. 

Terkait itu, ia mendorong evaluasi terhadap program MBG. “Jangan terburu-buru menambah anggaran, masih ada kasus keracunan, nilai gizi yang tidak terstandarisasi, hingga kekhawatiran penyimpangan anggaran di level teknis," ujarnya.

Bhima juga menyoroti potensi distorsi anggaran pendidikan akibat dominasi MBG. Padahal sektor pendidikan masih memiliki pekerjaan rumah besar, mulai dari kesejahteraan guru honorer, renovasi sekolah rusak, hingga fasilitas belajar mengajar yang minim.

Baca Juga: Anggaran Insentif PPN DTP Perumahan Capai Rp 3,4 Triliun di Tahun 2026

Dari sisi fungsi, Bhima menyoroti anggaran pertahanan yang naik signifikan 36,7% pada 2026, lebih tinggi dibanding pelayanan umum yang naik 8,6% serta perlindungan sosial yang hanya tumbuh 2,4%. Menurutnya, lonjakan anggaran pertahanan justru menahan daya dorong APBN terhadap perekonomian.

"Pertama, alokasi pertahanan minim dampak dalam menciptakan lapangan kerja maupun daya saing industri. Kedua, rentan inefisiensi dan korupsi. Ketiga, target pertumbuhan 5,4% di 2026 bisa terganggu karena dukungan seharusnya lebih difokuskan pada industri padat karya dan pemulihan daya beli masyarakat," paparnya.

Bhima juga mengkritisi target penerimaan pajak 2026 yang meningkat signifikan, namun masih bertumpu pada basis pajak lama. Ia menilai pemerintah seolah-olah “berburu di kebun binatang” jika menerapkan itu tanpa inovasi pajak. Sebab, ada risiko kontraproduktif dengan upaya pemulihan konsumsi kelas menengah.

Alih-alih, pemerintah seharusnya mulai mengimplementasikan pajak karbon dan pajak kekayaan. "Kalau hanya mengandalkan Coretax, risiko shortfall penerimaan tahun depan tetap besar. Rasio pajak juga sulit menembus 11% terhadap PDB," kata Bhima.

Selanjutnya: Foxconn & SoftBank Gandeng Tangan Bangun Pusat Data AI di Ohio

Menarik Dibaca: BNIdirect bisnis, Solusi Digital UMKM Kelola Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mengelola Tim Penjualan Multigenerasi (Boomers to Gen Z) Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×