Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi bisnis industri manufaktur di kawasan ASEAN tengah menurun di paruh pertama 2019, tak terkecuali industri manufaktur di Indonesia. Karena itu, butuh insentif dari pemerintah untuk mendorong laju industri manufaktur.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 kontraksi di level 5,05% year on year (yoy). Lebih rendah dari periode sama tahun 2018 dan kuartal sebelumnya.
Baca Juga: Bisnis manufaktur di ASEAN turun karena tekanan di pasar ekspor besar
Salah satu penyebabnya adalah industri manufaktur. Dilihat dari lapangan usaha kontributor industri manufaktur atau pengolahan melempem. BPS melaporkan pertumbuhan manufaktur 0,74%, turun dibanding periode sama 2018 sebesar 0,82% dan kuartal I-2019 yakni 0,83%.
Purcashing Magers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pun makin memburuk. IHS Markit menyebut PMI Manufaktur Indonesia pada Juli 2019 di level 49,6. Kondisi manufaktur ini merupakan terendah sejak Desember 2017.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan industri manufaktur perlu jadi prioritas. Dia menyarankan pemerintah menggenjot sektor yang mempunyai daya ekspor seperti otomotif, tekstil, makanan dan minuman (mamim), elektronik, dan kimia.
Kelima sektor tersebut dirasa mempunyai daya saing di tingkat global. Namun, investasi di sektor tersebut terpantau melambat karena melihat outlook ekonomi Indonesia belum stabil.
“Industri manufaktur saya rasa masih bisa tumbuh, hanya saja pemerintah harus benar-benar fokus memberikan insentif,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Senin (5/8).
Baca Juga: Kinerja manufaktur turun, begini kata pengusaha
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Industri manufaktur loyo akibat perang dagang AS-China yang menimbulkan daya beli negara eksportir turun, ditambah kebijakan pemerintah yang menghambat dunia usaha.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan hambatan terbesar manufaktur terletak di sektor tekstil. Pengusaha mengeluhkan kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemdag) nomor 14 tahun 2017 yang dianggap lebih menguntungkan importir, sehingga daya saing pengusaha domestik semakin kecil.
Baca Juga: Perang dagang AS-China masih panas, bagaimana nasib IHSG pekan depan?
Hariyadi mengatakan dengan berjalannya aturan tersebut importir hanya kena pajak atas bahan baku tekstil yang masuk. Sementara, produsen dalam negeri masih melewati rantai pajak mulai dari penjualan pabrik ke garmen, garmen ke toko, hingga sampai ke tangan konsumen.
“Kalau importir punya toko di Indonesia, mereka bisa langsung taruh di tokonya tanpa lewat garmen. Jangan cuman buka pintu impor saja, harus proteksi pasar domestik,” kata Hariyadi kepada Kontan.co.id, Senin (5/8).
Adapun Hariyadi berharap di sisa tahun 2019 sampai periode pemerintahan selanjutnya, pemerintah perlu fokus merealisasikan 16 paket kebijakan ekonomi. Kata dia selama ini seluruh isi paket itu belum efektif.
Dia menambahkan ke depan penerapan kebijakan harus lewat pertimbangan yang matang dan lebih dalam melibatkan pengusaha sebelum dijalankan. Sehingga regulasi yang dibuat pemerintah menjadi kondusif.
Baca Juga: Industri padat karya relokasi ke Jawa Tengah agar lebih efisien
Sementara, Josua meramal pada semester II-2019 investasi di sektor manufaktur akan cenderung membaik ketimbang semester I-2019 seiring dengan berakhirnya Pemilu. Hanya saja, harapan dia suku bunga Bank Indonesia (BI) dapat kembali dipangkas dan instrumen fiskal lebih mendominasi
Di sisi lain, tantangan pemerintah tahun ini adalah momentum. Berkaca pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi semester II-2018 terdongkrak akibar Asean Games dan annual meetings of the International Monetary Fund (IMF). Sehingga tahun ini tinggal mengandalkan Natal dan tahun baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News