Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengelolaan kekayaan tambang di dalam negeri dinilai belum maksimal. Ada beberapa penyebab, utamanya, soal perizinan dan regulasi yang sering menghambat.
Hal itu diungkapkan oleh Anggota IV BPK RI Ali Masykur Musa dalam 20th Anniversary Coaltrans Asia "Mining And Minerals Environmental Management And Energy Security)", Selasa (3/6).
Ia mengatakan bahwa potensi pertambangan harus terus digali agar tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Caranya, perizinan dan aturan terus dibenahi.
"Pemerintah dan seluruh stakeholder pertambangan di Indonesia harus memperbaiki tata cara pertambangan dan pengolahannya dengan tujuan memaksimalkan penerimaan negara berbasis lingkungan," ujar Ali Masykur.
Ia menjelaskan, BPK telah merekomendasikan pemerintah untuk menyederhanakan perizinan, mempermudah usaha, memperbaiki sistem penerimaan, dan meningkatkan kesadaran pengusaha melalui sosialisasi.
"Perbaikan perizinan harus segera dijalankan mengingat pertambangan merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu penggunaannya harus dilaksanakan secara bijaksana," tegasnya.
Ia mengingatkan, banyak daerah di Indonesia yang menikmati kekayaan tersebut tetapi tanpa disadari karena bermasalah dalam perizinan, menyimpan bom waktu yang dapat menghilangkan kenikmatan yang telah mereka dapatkan.
Jika ada perusahaan tambang yang masih nakal, misal tidak membayar jaminan reklamasi, harus segera berbenah. Karena, mencederai prinsip cara menambang secara baik dan tentu akan merusak lingkungan secara masif.
Perusahaan yang seperti itu, kata Ali, seharusnya dihentikan operasinya disebabkan dari sejak awal berusaha telah berniat untuk merusak lingkungan dan tentu akan merusak lingkungan secara masif.
PHK besar-besaran
Sebelumnya, Ketua Forum Komunikasi Pengusaha Tambang Aceh, Rizal Kasli, meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana menaikkan royalti batubara sebesar 13,5% tahun ini.
Pasalnya, harga batubara di pasar dunia sedang terjerembab atau berada di level terendah dalam kurun empat tahun terakhir. Penyebabnya melimpahnya pasokan global dan penurunan impor oleh China.
“Jika pemerintah tetap menaikkan royalti, bisa dipastikan banyak perusahaan tambang batubara yang gulung tikar. Ujung-ujungnya pasti akan terjadi gelombang PHK besar-besaran. Itu yang tidak kami inginkan,” ujar Rizal.
Prof. Abrar Saleng, pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin Makassar menambahkan, selama ini, royalti selalu naik ketika harga anjlok. Ini jelas tidak tepat. Oleh karena itu, pemerintah harus mengungkapkan dengan jelas, apa yang melatari kenaikan tersebut. Dengan begitu, pengusaha pun diyakini bisa memahami, sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan pelaku usaha. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News