kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.953.000   -3.000   -0,15%
  • USD/IDR 16.555   0,00   0,00%
  • IDX 6.890   -36,55   -0,53%
  • KOMPAS100 999   -5,91   -0,59%
  • LQ45 772   -5,21   -0,67%
  • ISSI 220   -1,07   -0,48%
  • IDX30 400   -2,40   -0,59%
  • IDXHIDIV20 471   -4,62   -0,97%
  • IDX80 113   -0,69   -0,61%
  • IDXV30 115   -0,40   -0,35%
  • IDXQ30 130   -0,98   -0,75%

Biaya nikah mahal, kumpul kebo marak


Senin, 07 Januari 2013 / 23:41 WIB
ILUSTRASI. Ini pendorong Trans Power Marine (TPMA) targetkan laba bersih dua kali lipat tahun 2021


Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menyesali mahalnya biaya administrasi pernikahan di setiap Kantor Urusan Agama (KUA). Akibat mahalnya biaya administrasi tersebut, kemudian membuat praktik hidup bersama tanpa nikah menjadi merebak di masyarakat kelas bahwa yang perekonomiannya sangat batas.

"Banyaknya masyarakat bawah yang hidup bersama tanpa nikah atau kumpul kebo salah satu penyebabnya adalah karena biaya mengurus biaya administrasi yang cukup mahal," kata Mahfudz di Gedung DPR, Jakarta, Senin (7/1).

Mahfudz mengatakan, jika diambil rata-rata maka ongkos administrasi menikah di KUA lebih dari Rp 500.000. Biaya ini adalah untuk mengurus surat keterangan di RT, RW dan di KUA. Biaya ini belum termasuk ongkos untuk penghulu yang memang sangat mahal bagi kantong masyarakat kecil.

Dikatakan Mahfudz, banyak masyarakat kelas bawah yang akhirnya tidak mampu membayar biaya pernikahan. Karena itu, akhirnya praktik kawin siri maupun tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan menjadi marak.

Salah satu upaya untuk menanggulangi hal tersebut, maka sering diselenggarakan nikah massal. Menurut Mahfudz, sebagian besar peserta nikah massal adalah masyarakat yang telanjur hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, lantaran tidak mampu secara ekonomi. Menurut Mahfudz,  pembenahan dalam permasalahan itu sangat sederhana, dengan cara penguatan disiplin dan aturan birokrasi di level aparatur yang paling bawah seperti KUA dan kelurahan.

"Jadi tempel saja papan informasi terkait biaya sesungguhnya dan itu harus murah dan masyarakat disadarkan bahwa ini hak mereka dan mereka tidak dipungut bayaran," imbuh Mahfudz.

Karena itu, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat ini yakin, jika ada transparansi maka masyarakat tidak akan memberikan uang pelicin. Lalu jika uang sogokan itu tetap dilakukan, maka pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada aparatnya dan bukan kepada masyarakat.

"Jadi ini jangan cuma dilihat dari masalah sogokan Rp 50.000 atau Rp 100.000, tetapi ini menyangkut kepada pelanggaran norma-norma agama," pungkas Mahfudz.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×