Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sinyal kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak empat kali tahun ini mendorong kenaikan imbal hasil aset berdenominasi dollar AS. Hal ini mendorong arus modal keluar di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga nilai tukar melemah.
Atas hal ini, Bank Indonesia (BI) dirasa perlu menaikkan suku bunga acuan lagi. Meskipun nilai tukar USD/IDR yang menembus batas psikologis 14.000 dinilai masih cukup terkendali.
Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Febrio Kacaribu bilang, BI sebenarnya masih memiliki ruang yang cukup untuk melakukan intervensi langsung di pasar valas. Namun, tekanan yang timbul dari perbedaan imbal hasil
antara aset dalam mata uang dollar dan rupiah, serta peningkatan nilai impor membuat ongkos untuk menahan pelemahan rupiah menjadi sangat mahal.
"Hal ini terlihat dari tetap melemahnya nilai tukar USD/IDR (JISDOR) dari awal Mei hingga kemarin sebesar 1,86% walaupun BI telah menghabiskan hampir US$ 2 miliar cadangan devisa untuk melakukan intervensi langsung di pasar valas," kata Febrio dalam keterangannya kepada KONTAN, Kamis (28/6).
Ia melanjutkan, dengan meningkatnya ongkos untuk menahan pelemahan Rupiah, BI memiliki pilihan yang relatif terbatas untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.
Menurut dia, BI perlu setidaknya menyamai pengetatan yang dilakukan oleh The Fed, atau menaikkan suku bunga setidaknya sebanyak empat kali hingga Desember 2018.
"Kenaikan ketiga perlu dilakukan pada rapat kali ini untuk memberi sinyal kuat ke pasar keuangan bahwa BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa BI siap menaikkan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate pada rapat dewan gubernur (RDG) yang berlangsung 27-28 Juni 2018 nanti.
“The Fed kemungkinan akan menaikkan empat kali pada tahun ini. Ini perkembangan baru arah kebijakan di sana. Risiko di pasar keuangan masih cukup tinggi,” kata Perry di Gedung BI, Jumat (22/6).
“Oleh karena itu, BI siapkan bauran kebijakan yang pre-emptive berupa kenaikan suku bunga dan relaksasi kebijakan loan to value (LTV) dalam RDG yang akan datang. Ini guidance jelas,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News